Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (7/penutup)

2. Budaya Hukum
Dibanding dengan substansi hukum, budaya hukum merupakan perkara tersulit dalam membangun hukum. Inilah yang sedang dialami oleh kita semua. Masalah utama dalam substansi hukum adalah cara merumuskan suatu pandangan menjadi norma atau kaidah, sedangkan masalah utama dalam budaya hukum justru jauh lebih kompleks. Norma atau kaidah dalam satu pasal memang harus dijadikan patokan perilaku bagi setiap orang. Akan tetapi siapa yang mau bersusah payah mempelajari norma-norma dan kaidah itu. Siapa pula yang mau bersusah payah mengkampanyekan norma-norma itu. Perilaku orang tidak selalu dapat dibentuk melalui jalan paksaan. Apalagi tidak semua undang-undang mengandung sanksi.

Membentuk undang-undang memang merupakan bagian dari budaya hukum. Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum itu bukanlah hukum. Budaya hukum, secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. Soal-soal itu adalah nilai, orientasi – apa yang dipikirkan - dan mimpi-mimpi orang tentang hukum dalam arti luas. Hukum dalam arti empirik adalah apa yang diperagakan oleh orang-orang yang diberi otoritas oleh negara untuk menjalankan suatu undang-undang. Dalam arti empirik itu pula, hukum mewujud pada tindakan kongkrit yang seirama atau tidak seirama dengan kaidah-kaidah dalam undang-undang.

Sanksi-sanksi tidak selalu dapat dipaksakan. Dalam administrasi negara, pencabutan izin, penurunan pangkat - demosi, dan lainnya memang dapat dipaksakan, tetapi apa sanksinya bila pelayanan oleh sebuah institusi dilakukan secara setengah hati. Apa yang dapat dilakukan kalau misalnya usulan kenaikan pangkat seseorang harus melewati waktu yang begitu panjang? Hilang ayam, dapat berubah menjadi hilang kuda ketika seseorang yang kehilangan ayam membawa perkara itu ke otoritas negara, adalah ungkapan sinis yang sudah sangat akrab di telinga kita. Kalau dapat dibuat ruwet, mengapa harus dibuat mudah, juga sama akrabnya di telinga kita. Kalau dapat nyelonong, mengapa harus beli tiket? Kalau dapat disuap atau dinegosiasi, mengapa harus antri berlama-lama atau harus mengikuti prosedur?

Secara konseptual, budaya hukum menunjuk pada sikap dan tindakan yang nyata-nyata terlihat, tentu merupakan refleksi dari nilai dan orientasi serta harapan yang ada pada seseroang atau kelompok. Karena itu, maka sikap dan tindakan apapun yang dilakukan oleh siapapun, khususnya yang berkaitan dengan hukum, dirumuskan dan diterima sebagai budaya hukum. Jadi dalam arti seperti ini, budaya hukum tidaklah mesti merupakan atau hanya menunjuk perilaku atau sikap yang baik saja atau yang buruk saja.

Sikap apresiasi terhadap hukum seperti apakah yang harus dibangun dan siapa yang harus berada di garda terdepan untuk membangun apresiasi terhadap hukum? Bila dikembalikan pada gagasan dasar yang terkandung dalam UUD 1945, maka sikap yang harus dibangun atau dikembangkan adalah sikap yang terbuka, hormat menghormati, dan tidak individual. Pilihan terhadap negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bermakna negara hukum yang demokratis, mengandung arti bahwa kita telah memilih untuk tunduk dan taat terhadap hukum. Pilihan itu juga berarti bahwa hukum ditempatkan dan dijadikan sebagai aturan main utama dan tertinggi dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara normatif semua warga negara harus berada di garda terdepan dan memikul beban yang sama untuk membangun budaya hukum. Namun, bila dilihat kenyataan, tidak hanya ada di depan kita, melainkan juga di negara lain, bahkan secara konseptual, terasa betul bahwa mimpi-mimpi ini rupanya agak menyesatkan. Sebab faktanya, setiap kelompok dalam lingkungan sosial memiliki nilai, orientasi dan harapan yang berbeda-beda. Karena itu berbeda pula sikap dan perilaku mereka dalam memberikan apresiasi terhadap hukum. Selalu saja ada alasan yang dapat digunakan untuk membenarkan sikap yang mereka pilih.

Dilihat dari sudut sosiologi hukum, seseorang atau sekelompok orang mau tunduk pada hukum, karena merasa beruntung dengan aturan tersebut. Begitu sebaliknya, tatkala mereka merasa tidak memiliki keuntungan apapun dari aturan itu, maka mereka tidak akan mendukung aturan tersebut. Hal semacam ini selalu dapat ditemukan di manapun. Mendukung satu putusan pengadilan, atau sebaliknya mencemoh putusan tersebut juga dapat dikembalikan pada tesis ini. Namun sejauh hal itu hanya merupakan pendapat, tentu harus diterima. Sebaliknya, dalam bentuk apapun sikap yang ditampilkan, anarkis atau tidak, tetap harus dilihat dan diterima sebagai budaya hukum kita.

Cukup sering orang menyebut-nyebut budaya hukum Cina dan Jepang, bahkan Amerika Serikat sebagai contoh budaya hukum yang baik. Cina dibanggakan karena memiliki tradisi Konfusiaisme yang kuat. Jepang selain dipengaruhi budaya konfusiaisme, juga memiliki tradisi kekeluargaan yang bagus. Amerika juga demikian, dianggap bagus karena memiliki tradisi individualisme yang kokoh. Padahal kalau harus diungkap secara apa adanya, akan ditemukan fakta yang cukup telak memukul validitas tesis-tesis tersebut. Bukan hanya dalam film-film, melainkan dalam kajian krimonlogi terungkap jelas bahwa di negara-negara itu juga tumbuh subur kelompok gangster.

Tidak sedikit pelanggaraan hukum berat yang pelakunya tidak tersentuh, karena berada pada strata politik tertinggi, Kalaupun disentuh pasti hanya merupakan sentuhan penuh kompromi. Pembunuhan John F. Kenedy misalnya hingga saat ini tak terungkap dengan terbuka. Kasus Monica Lewinsky dan Paula Johnes juga kabur. Itulah sekelumit wajah budaya hukum Amerika Serikat.

Budaya hukum, bukanlah sesuatu yang mudah digambarkan dan dinilai, apalagi penilaian yang bersifat final. Kenyataan, betapapun paradoksnya, itulah budaya hukum suatu lingkungan sosial. Menghargai atau tidak menghargai hukum, itulah budaya hukum. Karena itu maka membicarakan budaya hukum, mau tidak mau harus berurusan dengan kenyataan yang berkaitan dengan perilaku orang, bukan sesuatu yang ada di langit.

Akan semakin gawat kalau berkembang dalam pikiran orang dan menjadi keyakinan mereka bahwa hukum hanyalah apa yang tertera dalam undang-undang. Sama gawatnya dengan cara pandang tersebut, pandangan bahwa hukum terisolasi dari lingkungan sosial. Kalau sudah demikian halnya, maka akan hancurlah ruh hukum itu. Hilanglah pula sensisitifitas mereka terhadap nilai-nilai, kaidah dan tata krama sosial. Hasilnya adalah kepatuhan terhadap hukum semata-mata menjadi patuh pada teks undang-undang, bukan pada kaidah-kaidah sosial. Padahal ruang sosiallah yang menjadi napas hukum. Tanpa ruang sosial, hukum akan memiliki nilai nominal dan semantik belaka.

Di atas segala-galanya, akan indah dan menggembirakan sekali kalau penyelenggara negara, politisi, tokoh masyarakat berada di garda terdepan memimpin perilaku yang dapat dijadikan teladan dan panutan dalam menghargai, tunduk serta patuh pada hukum. Inilah makna lain dari pasal-pasal Magna Charta 1215, yang dipatrikan kembali 5 abad kemudian di dalam konstitusi Amerika Serikat. Good behaviour, itulah kriteria masa jabatan Hakim Agung di Amerika Serikat. Dapatkah kita seperti itu dalam arti yang seluas-luasnya? Wallahu alam.

Penutup

Dilema dalam pembangunan hukum terletak pada penyelerasan obyeknya itu sendiri, yaitu hukum, dengan makna-makna dalam gagasan dasar UUD 1945. Apa yang dahulu disebut cita hukum, bukanlah suatu harapan yang terbatas pada membangun hukum, melainkan membangun kehidupan yang adil dan beradab. Tetapi maknanya sebagai identitas suatu bangsa, simbol ideal dalam perikehidupan yang beradab dan bermartabat, maka postur substantifnya, selain harus memiliki pijakan konstitusional dan kultural, harus pula menjamin ketersediaan ruang bagi perkembangan -perkembangan baru. Ini berarti hukum yang dibentuk haruslah berwatak progresif.

Mengatur kehidupan dengan mengandalkan hukum – baca undang-undang, bukan hanya mencerminkan inkonsistensi pemahaman atas makna sosial yang melekat dalam hukum, melainkan juga sesat. Gagasan dasar dalam UUD, harus ditafsirkan tidak hanya sebatas makna normatifnya, melainkan juga makna politik dan transformasi sosial, sehingga pembentukan hukum harus diarahkan untuk menghasilkan tatanan hukum yang bermartabat, dan yang mengabdi pada kemuliaan manusia.

Rasanya tidak berlebihan kalau pembangunan hukum diprioritaskan pada dua hal. Pertama, substansi dan aparaturnya. Kedua, budaya hukum atau aspek kulturalnya. Di tangan aparatur hukum yang hebat, baik yang berasal dari departemen maupun para politisi di DPR, ke depan kita dapat merencanakan undang-undang yang berwatak progresif. Undang-undang yang berwatak progresif memerlukan penanganan yang berwatak progresif pula. Aparatur yang berwatak progresif adalah aparatur yang mengenal makna dan hakikat UUD, dan denyut nadi kehidupan nyata. *****

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (6)

Khusus tentang studi banding, menurut saya tidak selalu bersifat urgen dan tepat, tetapi juga tidak selalu keliru. Masalahnya adalah aspek-aspek apa yang mau dibandingkan atau dipelajari? Substansinya atau prosedurnya yang mau dipelajari? Pantas juga untuk dipertimbangkan bahwa netralitas yang oleh kaum positifis dianggap menjadi salah satu ciri hukum modern, kenyataannya tidak selalu demikian. Studi-studi hukum kritis yang mulai bergelora sejak tahun 1960-an, menunjukan bahwa tidak pernah ada hukum yang benar-benar netral. Sistem hukum dimanapun selalu menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melobi para pembentuk UU, agar undang-undang yang sedang dibentuk menguntungkan kelompok mereka.

Jelaslah bahwa substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sangat sulit. Namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncanakan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula diperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan di tingkat global yang semuanya sulit diprediksi.

Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja. Kesetaraan antarlembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia yang meliputi hak-hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji subtansi RUU atau UU yang akan dibentuk. Untuk dapat menguji dengan baik, maka gagasan-gagasan di atas harus dielaborasi lebih dalam.

Sebagai contoh, hak asasi manusia yang diatur dalam UUD. Tidak tepat kalau hak asasi manusia diinterpretasi sesuai dengan faham konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Interpretasi atas hak asasi manusia, haruslah dikaitkan dengan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34, bahkan dengan Pasal 18B ayat (2). Elaborasi atas sebagian dari pasal-pasal ini telah diajukan di muka.

Kaitan antara Pasal 27, 28, 33 dan 34 UUD 1945 (setelah diubah), memunculkan gagasan bahwa ruang pemodal swasta apalagi asing yang sepantasnya harus dibatasi dalam bidang perbankan misalnya, tidak tepat kalau pemodal asing menguasai modal bank dalam jumlah 90%. Semua ekonom sangat faham bahwa bank memainkan peranan yang demikian sentral dalam menentukan kondisi perekonomian nasional. Penguasaan modal oleh pihak asing terhadap bank, akan mengakibatkan perekonomian kita benar-benar berada dalam genggaman mereka. Akan sulit bagi kita untuk membebani misi penataan orde ekonomi yang digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945 kepada mereka. Karena itulah maka undang-undang yang tidak mengatur pembatasan penguasaan modal oleh pihak asing, bagi saya harus dinilai sebagai undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal yang telah disebut di atas.

Sumber daya alam kita misalnya, tidak dapat dieksploitasi semau negara, karena negara diwajiban untuk menjamin lingkungan hidup yang baik bagi setiap individu. Terminologi mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 28H ayat (2) haruslah diartikan bahwa negara diwajibkan untuk menyediakan lingkungan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia. Bila undang-undang ini tidak mengatur parameter-parameter pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.

Terasa ada kesulitan untuk menerima tesis global tentang uang sebagai barang tak bertuan dan berbatas, bahkan tak beridiologi. Kalau bukan karena prinsip liberalisme yang begitu kokoh dan tangguh dianut oleh negara-negara barat, pastilah uang tidak akan berkembang biak dan menjalar kemana-mana menembus batas-batas negara. VOC adalah sebuah korporasi yang menyengsarakan kaum bumi putra di masa lalu. Kekayaan kita dilihat sebagai tambang uang yang tak terkira. Karena itulah maka Twede Chammer Belanda mensyahkan Agrarische Wet pada tahun 1870. Undang-Undang ini membuka pintu masuknya modal swasta Belanda ke Hindia Belanda. Apa yang terjadi kemudian? Tanah-tanah dikuasai oleh mereka dengan seribu satu alasan. Lalu kaum bumi putra? Buruh tani.

Betapapun pentingnya substansi hukum, saya ingin mengajukan satu gagasan agar pembangunan hukum juga difokuskan pada pembangunan aparatur hukum yang tangguh. Kelemahan kunci dalam pembangunan hukum selama ini adalah kurang tangguhnya aparatur hukum. Padahal di tangan aparatur hukumlah wajah hukum itu ditentukan. Di sinilah letak urgensinya pengembangan aparatur hukum yang tangguh.

POLRI sudah bergerak ke arah penyelarasan tampilan dengan klaim UUD 1945. Pemberian sanksi dan promosi sejumlah anggota Polisi pada Desember 2006 tentu menggembirakan. Di sisi lain akan sangat bagus sekali kalau Mahkamah Agung juga mengikuti jejak langkah POLRI. Manis pula kalau Kejaksaan Agung juga melipat-gandakan pengawasannya, diikuti dengan pemberian sanksi dan penghargaan yang baik, sebagaimana sudah ditunjukan secara parsial beberapa bulan yang lalu. Agar hasilnya semakin bagus pada masa yang akan datang, maka selain dibutuhkan blue print yang bagus, dibutuhkan kepemimpinan yang bagus pula. Hanya di tangan kepemimpinan yang kuatlah kita dapat menggantungkan harapan kita.

Sebagai catatan akhir dari bagian ini, ingin dikemukakan sebuah sintesa antara pemikiran yang digariskan di muka dengan substansi hukum. Substansi hukum yang pantas untuk dibangun di masa depan adalah hukum yang berpihak pada martabat manusia dan demokratis, karena itu substansi hukum tidak boleh memiliki potensi menguntungkan satu kelompok tertentu, siapapun dia. Harus pula dicegah terbentuknya substansi hukum yang bersifat koruptif. Inilah tugas bersama yang menyertai kita.

Betapapun sulitnya mengusahakan semua hal yang telah dikemukakan, saya berpendapat bahwa ada harapan untuk memcapai semua itu. Mahkamah Konstitusilah satu-satunya harapan yang patut digantungkan untuk mengontrol substansi hukum yang bersifat korup. Uji konstitusionalitas suatu undang-undang, secara sosiologis dimaksudkan untuk mengoreksi dimensi koruptif dalam undang-undang itu.

Dimensi koruptif dalam setiap undang-undang dapat berupa memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu, dan merugikan kelompok lain. Di situ pulalah ruh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, maka ruh hukum, yakni mengabdi pada harkat dan martabat manusia, bahkan kemuliaan manusia, terkawal melalui mekanisme koreksi yang disediakan dalam sistem hukum pasca amandemen UUD 1945.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (5)

Dua Aspek Penting

1. Substansi Hukum

Pembangunan hukum merupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif. Sebagai satu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya.

Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, DPR berada di jantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasi secara normatif menjadi kaidah hukum. Apa jadinya kalau mereka tidak peduli pada makna-makna yang terkandung dalam UUD 1945. Apa jadinya kalau hasil studi banding mereka, tidak lagi diharmoniskan dengan makna-makna UUD 1945?

Arah pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan.

Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukanlah negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata. Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas.

Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Meminjam konsep Lawrence Friedman, norma hukum adalah aspek subtansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondary rules yang dikonsepkan oleh H. A. L Hart. Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif model Hart, memainkan peranan yang amat menentukan bagi kapasitas hukum positif.

Aparatur dan kultur hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan hukum. Ini berarti pula bahwa pembentukan, tata kelola, tata nilai, orientasi dan mimpi-mimpi orang tentang hukum harus menjadi prioritas utama. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja terlihat ada cacat celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam. Satu di antaranya adalah norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.

Agar hukum memiliki kapasitas yang layak dan tata kelolanya berjalan bagus, maka perlu pula mempertimbangkan penilaian Presiden B.J. Habibie. Presiden B.J. Habibie secara tepat memandang aspek sarana pendukung, termasuk teknologi sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya bagi pembangunan hukum. Pelayanan hukum macam apakah yang akan diberikan kepada pencari keadilan, atau perlindungan hukum macam apakah yang harus diberikan kepada masyarakat di daerah terpencil, bila Polres atau Polsek tidak memiliki kendaraan?

Berkaitan dengan tata kelola hukum, khususnya menyangkut perencanaan substansi hukum, kenyataan menunjukan bahwa Rancangan Undang-Undang sangat sering datang dari setiap Departemen atau Komisi, tergantung departemen mana yang memprakarsai pembentukannya. Semuanya bermuara di DPR. Sesuai dengan kelaziman, memang harus dipercaya bahwa gagasan-gagasan yang tertuang dalam RUU pasti telah melalui tahapan pembahasan internal institusi yang memprakarsainya.

Kenyataan juga menunjukan bahwa pembentukan suatu RUU sangat sering didahului dengan studi banding ke berbagai negara. Kajian terhadap substansi RUU pun selalu melibatkan kalangan ahli, baik hukum maupun non hukum. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang baik dan pantas untuk dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih jauh pada masa-masa yang akan datang. Sebab pada level ini banyak hal dapat dilakukan, misalnya memetakan ketentuan-ketentuan hukum positif, yang, bila tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya disharmoni tatkala RUU akan ditingkatkan menjadi UU.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (4)

Hilangnya watak individualistis dalam rumusan hak asasi manusia yang terdapat pada pasal 28A sampai dengan pasal 28J UUD 1945, sangat terasa bila dihubungkan dengan pasal 27 ayat (2), Pasal 33 dan 34. Penghidupan yang layak bagi kemanusiaan mengandung arti bahwa setiap individu tidak memliki keleluasaan untuk memilih pekerjaan yang disenanginya dengan alasan merupakan hak asasinya.

Pekerjaan yang dipilih dan dilakukan haruslah pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kelayakan pekerjaan harus diukur berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Perbudakan tentu bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Penjualan manusia, juga bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itulah, maka negara harus mengambil peran secara aktif untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.

Masuknya negara ke dalam setiap usaha untuk menciptakan keadaan penghidupan yang layak merupakan suatu kewajiban konstitusional. Penyelenggara negara tidak boleh berdiam diri dalam situasi apapun. Inilah yang membedakan konsep konstitusionalisme klasik, yang menempatkan negara sebagai penjaga malam demi kebebasan manusia agar mereka - setiap individu - mengusahakan sendiri kesejahteraannya, tidak lagi berlaku seiring dengan munculnya konsep konstitusionalisme mutakhir yang mulai berkembang sejak pertengahan abad ke 19.

Pasal 33 UUD 1945 mengandung gagasan dasar dan atau kaidah, bahwa keadaan ekonomi tidak boleh dibiarkan berkembang sendiri menurut hukum pasar. Bila Pasal 33 ini diinterpetasi, baik secara gramatikal maupun sistematis, maka gagasan yang terdapat dalam pasal ini adalah tata ekonomi harus diatur oleh negara. Kata-kata perekonomian yang terdapat pada awal kalimat rumusan Pasal 33 ayat (1) mengandung arti bahwa orde ekonomi tidak boleh dibiarkan tercipta sesuai dengan gerak ekonomi itu sendiri. Orde ekonomi harus ditata oleh negara.

Watak orde ekonomi yang harus dikembangkan adalah saling membesarkan atau mengangkat. Watak ini haruslah dipandu dengan prinsip bahwa pengakuan terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum, dan pembangunan. Tujunnya adalah agar sesama individu mengembangkan sikap saling membantu. Di sisi lain pengakuan ini juga mengandung arti bahwa negara tidak boleh mengabaikan sedikitpun hak-hak individu yang telah diakui, untuk dan atas nama kepentingan apapun.

Watak orde ekonomi di atas harus dipelihara dan dikembangkan secara sungguh-sungguh, sehingga memiliki kapasitas dalam mencegah lahirnya fakir miskin. Semangat Pasal 34 UUD 1945 adalah kelompok manusia ini – fakir miskin harus dipelihara oleh negara. Kewajiban ini akan hilang bila tidak ada lagi orang yang berkategori fakir miskin. Karena itu, maka harus diciptakan orde ekonomi, bahkan orde sosial, hukum dan sosial yang memungkinkan semua orang memperoleh kesempatan untuk berkerja secara layak, dan berpendapatan secara layak pula demi mengangkat harkat dan martabatnya.

Semangat konstitusionalisme mutakhir juga tercermin pada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan negara untuk mengembangkan suatu sistem jaminan sosial. Sistem ini telah lama berkembang di Inggris, Perancis dan Jerman, sekurang-kurangnya setelah perang dunia kedua. Padahal dari Inggris dan Perancis lah lahir konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Karena teks Pasal 34 ayat (3) menggunakan kata “Sistem” maka penyelenggara negara diwajibkan untuk membangun tatanan jaminan sosial itu. Penyelenggara negara pun diwajibkan untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum lainnya. Kewajiban ini digariskan secara jelas dan tegas dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 (setelah diubah).

Dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) maka watak modernitas konstitusonalisme Indonesia pasca amandemen UUD 1945, memesankan terbentuknya tatanan hukum yang memungkinkan tumbuhnya pluralitas hukum, bukan tatanan hukum yang monolitik dan sentralistik, sebagaimana dipraktikan pada masa lalu.

Dalam tata hukum yang berwatak pluralitas itu, dimungkinkan hukum adat, agama, dan praktik-praktik penyelesaian konflik yang telah terlembagakan dalam setiap lingkungan sosial, tetap eksis dan menginspirasi pembangunan hukum. Hukum dalam arti itu, tidak hanya terbatas pada apa yang dilahirkan dan dibentuk oleh negara, melainkan mencakup apa yang diyakini dan eksis di dalam kehidupan masyarakat. ***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (3)

Distribusi kekuasaan secara horizontal dilakukan secara tumpang tindih itu, ditandai dengan Presiden memperoleh sedikit kekuasaan legislatif. Kongres juga demikian, diberikan sedikit kekuasaan eksekutif. Mahkamah Agung juga demikian, diberi sedikit kewenangan untuk ikut serta masuk dalam permainan dua cabang kekuasaan. Presiden diberi kewenangan untuk mengangkat duta, pejabat-pejabat tertentu, tetapi harus dikonfirmasi, bahkan ada yang memerlukan persetujuan dari Senat. Senat dengan demikian memiliki sedikit kewenangan yang sesungguhnya merupakan kewenangan eksekutif. Presiden memiliki kewenangan untuk memberi pengampunan, tetapi Mahkamah Agung juga diberikan sedikit kewenangan dalam soal ini. Bentuknya adalah memberi pertimbangan tertulis. Kongres, khususnya House of Representative diberikan kekuasaan melaksanakan kekuasaan legislatif, tetapi Presiden diberi sedikit kewenangan, veto.

Hubungan antara pemerintah Federal dengan negara-negara bagian adalah hubungan hukum. Bentuk hubungannya adalah hubungan keuangan dan kewenangan. Bentuk hubungan ini berbasis pada cara pandang bahwa area kekuasaan berada di daerah atau di negara bagian. Tesis ini merupakan abstraksi dari kenyataan sebelum kemerdekaan bahwa negara-negara bagian merupakan daerah-daerah yang bersifat otonom. Sejak kolonialisme Inggris daerah-daerah telah terbiasa mengurus dirinya sendiri secara mandiri, dan tidak tunduk pada satu pemerintahan pusat, kecuali pemerintah jajahan. Kenyataan tentang kemandiriannya ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa para perumus UUD membentuk lembaga Senat yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan wilayah.

Sedikit memiliki kemiripan dengan Indonesia, latar belakang sosiologis pembentukan UUD Amerika diwarnai dengan ketidak-adilan pemerintahan jajahan. Para perumus UUD mereka mengenal betul akibat buruk yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan pemerintahan jajahan. Inilah yang mengilhami, sekaligus menyadarkan mereka untuk merancang bentuk pemerintahan dan distribusi kekuasaan yang masih berlaku hingga saat ini.

UUD 1945 (setelah diubah) cukup tegas mematrikan hal yang memiliki kemiripan relatif dengan jalan pikiran pembentuk UUD Amerika Serikat, sekurang-kurangnya dengan UUD lain, misalnya Philipina. Padahal pada tahun 1945 dalam sidang PPKI hal-hal ini ditolak oleh para pembentuk UUD, karena dianggap bersifat liberal. Liberalisme dianggap merupakan anak kandung individualisme, dan keduanya merupakan ibu kandung dari imprialisme yang menyengsarakan rakyat bumi putra selama berabad-abad lamanya.

Diadopsinya sebagian besar pemikiran yang pernah ditolak pada masa lalu tidaklah berarti bahwa gagasan dasar UUD 11945 (setelah diubah) adalah individualistis. Menurut saya gagasan dasar UUD 1945 ini adalah kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat merupakan ciri konstitusionalisme mutakhir, sekaligus menjadi fundasi etik dari seluruh pembentukan negara modern. Kalau ada yang mengatakan bahwa UUD 1945 (setelah diubah) berwatak liberal, karena adanya pengakuan terhadap hak-hak individu, menurut saya watak individualistis terkikis oleh pengakuan terhadap hak individu di bidang sosial, ekonomi, hukum dan pembangunan.

Dilihat dari sudut ini, maka menurut saya formulasi hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, benar-benar jauh dari watak hak asasi yang bersifat individualistis.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (2)

UUD sebagai hukum tertinggi dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi, sekaligus kerangka dasar pengorganisasian kekuasaan negara dan pembangunan. Menyandang fungsi sebagai kerangka dasar pengorganisasian kekuasaan dan pembangunan, UUD di negara manapun selalu berisi garis-garis besar yang bersifat fundamental tentang haluan pembangunan bangsa dan negara yang harus ditempuh.

Sesuai sifatnya, sistem hukum selalu ditandai dengan adanya sub-sistem hukum. Tanpa subsistem hukum, tidak akan ada sistem hukum. Tanpa UUD sebagai titik tolaknya, maka sistem hukum tidak akan memiliki arah dan kapasitas. Subsistem hukum merupakan sesuatu yang terus-menerus berproses, berbanding lurus dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi masyarakat, sehingga terlalu riskan membiarkannya berproses sendiri. Karena itulah, maka negara melalui organ-organnya harus masuk dan merekayasanya, agar menghasilkan suatu orde hukum yang sehat.

Gagasan-gagasan baru yang terdapat dalam UUD 1945, khususnya pembatasan kekuasaan Presiden, penghapusan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan pengaturan mengenai hak asasi manusia, pelembagaan gagasan judicial review serta pergeseran konsep pemerintahan daerah, yang di dalamnya menegaskan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, menurut saya hal itu menandai paradigma UUD 1945. Paradigmanya adalah konstitusionalisme modern, yang berbeda dengan konstitusionalisme klasik yang hanya menekankan hak-hak individu dibidang politik.

Sejarah konstitusionalisme menunjukan bahwa pengakuan terhadap hak individu menjadi titik tolak pertumbuhan awal konstitusionalisme – klasik untuk merestorasi kekuasaan absolut. Inilah ciri konstitusionalisme awal atau abad 13. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pertengahan abad ke 17 ciri ini mengalami perluasan, meliputi pengorganisasian kekuasaan. Konsep kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan federatif versi John Locke, yang selanjutnya dikembangkan oleh Montesqieu harus dilihat dalam konteks ini.

Konsep Montesqieu untuk pertama kalinya diterapkan secara luwes dalam UUD Amerika Serikat. Inilah periode paling kongkrit dalam pertumbuhan konstitusionalisme modern, karena prinsip-prinsipnya dilembagakan secara tegas dalam UUD. Thomas Jefferson, John Jay, Alexander Hamilton, dan beberapa perumus UUD Amerika Serikat lainnya berjasa dalam hal ini. Check and Balances yang untuk pertama kalinya pula dikembangkan di Amerika Serikat, merupakan elaborasi gemilang para perumus UUD mereka. Tujuan intinya adalah untuk dan demi mengontrol penggunaan kekuasaan, agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan dinilai sebagai pangkal rusaknya keadilan. Inilah tesis dasar Montesqieu dalam teori yang terkenal itu.

Bertolak dari tesis Check and Balances, mereka merumuskan kedudukan dan wewenang dari ketiga cabang kekuasaan secara tumpang tindih. Esensinya adalah mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Bila dirumuskan secara terbalik, maka hubungan antarcabang kekuasaan di Amerika Serikat hingga saat ini dianggap rumit dan tumpang tindih itu, adalah cara untuk menjamin hak individu. Bentuk Negara Serikat juga dianggap sebagai cara terbaik dalam memelihara eksistensi hak-hak individu. Rumusan hubungan antarkekuasaan seperti inilah yang dianggap ideal, karena tidak memungkinkan satu lembaga pun berkedudukan lebih tinggi dari lembaga lainnya. Semua lembaga negara berkedudukan sejajar.***

Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945 (1)

Margarito Kamis
Doktor dalam Ilmu Hukum, bidang Hukum Tata Negara dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Pendahuluan
Reformasi, di manapun selalu diawali dengan merombak tatanan hukum lama yang tidak adil atau diskriminatif. Itulah yang dilakukan di seluruh negara, yang diawali dari Inggris pada 1688, Amerika 1787, dan Perancis 1789. Di manapun reformasi juga selalu menyisakan sekelumit paradoks. Karena itu, apa yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1998 dan 1999 mencerminkan bahwa mereka mengetahui benar hakikat reformasi. Mereka mulai dengan menata kebobrokan tatanan masa lalu dari jantungnya hukum.

Itulah yang dituangkan ke dalam ketetapan-ketetapan mereka. Terdapat lima ketetapan yang dapat diklasifikasi sebagai ketetapan yang mengagumkan pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 1998. Pertama, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Keempat, Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politiik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kelima, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Setahun setelah itu, MPR hasil pemilu 1999 berketetapan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ini memiliki nilai dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan bangsa dan negara. Mengapa? UUD 1945 (sebelum diubah), jelas tidak menyediakan kerangka konstitusional yang diperlukan bagi pengembangan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemerintahan yang berwatak adil, beradab dan bermartabat.

Memahami semua yang dilakukan oleh MPR pada dua periode tersebut dari sudut paham konstitusionalisme mutakhir, terdapat dua hal yang tidak dapat diabaikan oleh semua pihak. Pertama, semua produk MPR tersebut merupakan respon kritis atas tatanan pemerintahan otoriter yang merupakan produk langsung dari rapuhnya tatanan konstitusional sebelum tahun 1998.

Kedua, baik ketetapan-ketetapan maupun perubahan UUD 1945 selain merupakan respon normatif atas situasi yang menyertainya, juga transformatif. Mereka – para anggota MPR dapat disebut sebagai peletak dasar kedua setelah yang pertama pada tahun 1945, dalam menciptakan tatanan dasar yang beradab-bermartabat, adil serta menjangkau ke depan. Tujuan dasarnya adalah untuk meletakan dasar-dasar kehidupan yang baik dalam perspektif transformatif, sekaligus menghentikan siklus pemerintahan yang tidak kokoh di masa lalu.***

Audit Investasi BPK Tidak Berguna

Kepala daerah di era otonomi daerah memang sudah layaknya raja-raja kecil. Mereka memiliki beragam kewenangan, dengan akuntabilitas yang rendah. Lantas kalau ber perkara hukum, mereka akan berlindung di balik UU otonomi daerah. Polisi dan jaksa kerap kesulitan karena untuk memeriksa saja harus ada ijin presiden. Di sinilah keampuhan Komisi Pemberantasan Korupsi layak dijajal. KPK tidak memerlukan ijin presiden untuk memeriksa kepala daerah.

Indikasi korupsi terhadap Dana Tak Tersangka APBD 2004 yang dilakukan Gubernur Maluku Utara, Thaib Armain sebesar Rp. 6.916.468.250,-. Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Maluku Utara ini sebenarnya adalah kasus lama yang pernah ditangani oleh Mabes Polri c.q. Mapolda maluku Utara.

Ternyata pada perkembangannya, terdapat ketidak konsistenan pihak Polda Maluku Utara (Malut) dalam menangani kasus dugaan korupsi ini.Kasus ini bermula pihak Kepolisian pada saat itu berkilah bahwa kasus ini belum bisa diproses karena belum ada penghitungan kerugian definitif oleh pihak berwenang (dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan), namun, saat pihak BPK Perwakilan Manado menerbitkan laporan audit invetigasi terhadap kasus tersebut, tetapi ternyata kasus masih tetap mandeg.

Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak Polri, penanganan kasus ini belum bisa berlanjut karena belum ada izin dari presiden. Alasan tersebut dirasakan masyarakat jelas sangat dibuat-buat karena berdasarkan amanat UU No. 32 tahun 1999 tentang otonomi Daerah ijin pemeriksaan dari presiden bisa diabaikan jika surat permohonan ijin ke presiden sudah melewati masa 60 hari.Kapolri Jenderal Pol Sutanto dinilai tidak menepati janji dalam menyelesaikan berbagai kasus korupsi di daerah.

Salah satunya adalah kasus korupsi Gubernur Maluku Utara, Thaib Armayn yang tidak juga ditindaklanjuti sejak Mei 2007. “Pada rapat kerja dengan Komisi III DPR, Mei lalu, Kapolri berjanji menindaklanjuti temuan BPK dengan segera meminta surat izin pemeriksaan Thaib pada Presiden,” kata Arbab Paproeka, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN).Menurut Arbab, pada raker itu, Kapolri mengatakan kalau dalam waktu 60 hari surat izin pemeriksaan tidak turun, maka polisi bisa langsung melakukan penyidikan. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. (majalah konstant)

Cagub Malut Sepakat Boikot Pilkada

Jumat, 5 Oktober 2007
TERNATE (Suara Karya): Tiga dari empat calon gubernur/calon wakil gubernur (cagub/cawagub) Maluku Utara (Malut) sepakat memboikot pemilihan gubernur (pilgub) Malut karena KPUD Malut tidak menggubris tuntutan mereka untuk menunda pelaksanaan kampanye.

Keterangan yang diperoleh di Ternate, Kamis, menyebutkan ketiga cagub yang sepakat memboikot pilgub tersebut adalah pasangan Abdul Gafur/Aburrahim Fabanyo yang diusung koalisi Partai Golkar, PDK, PAN.

Kemudian Irvan Edyson/Ati Ahmad (koalisi partai kecil) dan Antony Charles/Amin Drakel (PDI Perjuangan).Sedangkan satu cagub/cawagub yang siap mengikuti pilgub dan mendukung keputusan KPUD Malut untuk tetap melaksanakan kampanye sesuai jadwal semula, yakni tanggal 5-21 Oktober 2007, adalah pasangan Thaib Armiyn/ Gani Kasuba yang didukung koalisi PKS dengan sejumlah partai kecil.

Tim sukses pasangan Abdul Gafur/Aburrahim Fabanyo, Imran Jumadi, ketika dihubungi, membenarkan bahwa pihaknya telah melakukan pertemuan dengan pihak pasangan Irvan Edyson/Ati Ahmad serta pasangan Anthoni Charles/Amin Drakel dan sepakat memboikot pilgub Malut.

Mereka sepakat melakukan aksi boikot pilgub itu karena KPUD Malut tidak konsisten untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat dengan para cagub/cawagub untuk menunda jadwal kampanye. Pasalnya, jadwal yang ditetapkan semula bertepatan dengan bulan puasa.

"KPU Pusat sudah menyurati KPUD Malut untuk menunda jadwal kampanye. KPUD Malut pun sudah membuat kesepakatan dengan para cagub/cawagub untuk menunda jadwal kampanye dari 5-21 Oktober menjadi 17-30 Oktober 2007," katanya. Tetapi kemudian KPUD Malut secara sepihak membatalkan kesepakatan tersebut dan kembali akan melaksanakan kampanye sesuai jadwal semula.

Tindakan KPUD Malut itu jelas tidak bisa ditoleransi atau dibiarkan karena selain tudak menghargai bulan puasa, juga sama artinya dengan mempermainkan para cagub/cawagub.Koordinator tim sukes pasangan Irvan Edison, Natsir, ketika dihubungi, juga mebenarkan hal tersebut. Bahkan ia mengaku bahwa mereka telah menyurati KPU Pusat dengan tembusan ke Mendagri Mardiyanto dan Ketua DPR Agung Laksono, yang intinya menuntut penundaan jadwal kampanye.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua DPD PDIP Malut, Zainal Palaguna, membenarkan pula kesepakatan tersebut. Ia telah pula menginstruksikan seluruh anggota DPRD Malut dari PDIP untuk tidak menghadiri acara kampanye perdana cagub/cawagub Malut di DPRD Malut pada 5 Oktober 2007.

Ketua KPUD Malut Rahmi Husen mengatakan, KPUD Malut tetap akan melaksanakan kampanye sesuai jadwal semula karena KPUD telah mengonsultasikannya ke KPU Pusat dan Depdagri, Kedua institusi itu tidak melarang kampanye dilakukan pada bulan puasa. (Ant/Dwi Putro AA)

Megawati Minta Pilkada Maluku Utara Jujur

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri meminta penyelenggara Pilkada di Maluku Utara menggelar pelaksanaan Pilkada secara jujur dan bermartabat karena adanya kegaluan terjadi berbagai kecurangan dan rekayasa yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Maluku Utara.

"Jangan lagi ada dusta di antara kita, buang jauh-jauh pembodohan yang dilakukan KPUD. Rakyat Maluku Utara ingin kedamaian dan mereka harus dihargai hak-hak politiknya," kata Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Sabtu (06/10).

Megawati sebagaimana dikutip Staf Khusus Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Ari Junaedi, selalu memonitor dengan seksama pelaksanaan Pilkada di semua daerah.

"Khusus untuk Maluku Utara, Ibu Megawati menyatakan keprihatinannya yang mendalam karena kecurangan KPUD Maluku Utara di semua lini pentahapan Pilkada," jelas Ari Junaedi yang juga kandidat doktor komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran tersebut.

Sejak Selasa lalu, DPP PDI Perjuangan telah mengirim tim dari Jakarta untuk memantau pelaksanaan Pilkada Maluku Utara.

Selain Mayjen TNI (Purn) HZB Palaguna selaku Pelaksana Tugas Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku Utara, tim dari Jakarta beranggotakan Mayjen TNI (Purn) Theo Syafei dan Profesor Hamka Haq selaku Ketua DPP serta Wakil Sekjen Agnita Singedikane.

Kecurangan-kecurangan yang dilakukan KPUD Maluku Utara antara lain tidak mengidahkan himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah serta elemen-elemen masyarakat di Maluku Utara agar mengalihkan jadwal kampanye selama bulan Ramadhan, mengacuhkan kesepakatan antara tim kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, tidak menghormati saran Panitia Pengawas Pemilu agar mentaati kesepakatan antar pasangan calon.

Serta melecehkan hasil rapat pimpinan DPRD Maluku Utara dengan KPUD soal pengembalian jadwal kampanye sesuai kesepakatan antar tim kampanye pasangan calon. Belum lagi, KPUD Maluku Utara "memelintir" saran dari Mendagri dan KPU Pusat soal pengembalian jadwal kampanye sesuai kesepakatan pasangan calon.

"Yang sangat kasat mata adalah hingga hari ini KPUD Maluku Utara tidak melakukan pemutakhiran data akibatnya data pemilih di enam desa di perbatasan Halmahera Utara dan Halmahera Barat masih tumpang tindih. KPUD Maluku Utara juga sampai saat ini belum juga membentuk Panitia Pemungutan Suara dari tingkat kabupaten hingga desa seperti yang diamanatkan undang-undang," papar Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Agnita Singedikane.

Cagub

Ari Junaedi dalam keterangan tertulisnya mengatakan, keprihatinan PDI Perjuangan bukan karena calon yang diusungnya pasangan Anthony Charles Sunaryo - Mohammad Amin Drakel dirugikan, tetapi juga disuarakan sama oleh pasangan DR. Abdul Gafur-Abdurrahmin Fabanyo yang disokong Partai Golkar, PAN serta Partai Demokrasi Kebangsaan serta pasangan Mayjen TNI (Purn) Irvan Eddyson-Atti Ahmad yang didukung Partai Damai Sejahtera.

Selain tiga pasangan tersebut, Pilkada Maluku Utara juga diramaikan pasangan incumbent, Thayb Armayn-Gani Kasuba yang digotong Partai Demokrat, PKS dan PBB.

Terhadap segala kecurangan yang dilakukan KPUD Maluku Utara ini, ketiga pasangan calon gubernur tersebut minus Thayb Armayn - Gani Kasuba sepakat meminta KPU Pusat untuk membekukan KPUD Maluku Utara. Ketiga pasangan calon gubernur juga telah meneken sikap bersama untuk menolak pelaksanaan kampanye Pilkada yang jelas-jelas melanggar hukum dan melabrak norma-norma kehidupan.

Dari Maluku Utara diberitakan Tiga dari empat calon gubernur/ calon wakil gubernur (cagub/cawagub) Maluku Utara (Malut) sepakat memboikot pemilihan gubernur (pilgub) Malut, karena KPUD Malut tidak menggubris tuntutan mereka untuk menunda pelaksanaan kampanye.

Keterangan yang diperoleh di Ternate, Kamis, menyebutkan ketiga cagub yang sepakat memboikot pilgub tersebut adalah pasangan Abdul Gafur/Aburrahim Fabanyo yang diusung koalisi Partai Golkar, PDK, PAN), Irvan Edyson/Ati Ahmad (koalisi partai kecil) dan Antony Charles/Amin Drakel (PDIP). (*/lpk/kapanlagi.com)

Wednesday, October 10, 2007

Baabullah Sang Penakluk Imperialis

Moro-moro se maku gise
No kakoro siwange ma buluke
Si wange ma sosira
Jo Mapolo sara sekore mie
Ino formoni Bismillah!

Ternate pernah menjadi daerah `panas' akibat pertikaian bernuansa SARA, menyimpan goresan emas kejayaan Islam. Sejarah mencatat keberadaan beberapa kerajaan Islam di bawah pimpinan raja yang bijak di sana. Tak mengherankan bila petualang kesohor Ibnu Batutah menyebut kawasan itu sebagai Jazirat Al-Mulk (Semenanjung Raja-Raja).

Salah satu fase kejayaan itu berada di bawah kendali Sultan Baabullah (SB), sosok Muslim Ternate yang mampu berperan sebagai penguasa bijak. Di bawah kendali pemerintahannya, Ternate mampu tampil sebagai kerajaan yang adil, bisa mengayomi segenap lapisan masyarakat, termasuk kalangan non-Muslim.


Tentu saja, gerakan misionaris Kristen yang memporak-porandakan hakikat toleransi dengan tegas akan dilibas. Ini dibuktikan SB ketika memimpin perlawanan melawan kolonialis Portugis, yang tak hanya berniat menjajah secara ekonomi tetapi juga aqidah. Penguasa Ternate yang dijuluki `Khalifah Islam Nusantara' ini akhirnya mampu mengenyahkan Portugis, dengan model perlawanan yang cantik dan Islami.

Baabullah sang Penakluk

Lahir di Ternate, 10 Februari 1528 M, Baabullah merupakan generasi ke-5 Sultan Zainal Abidin (1485-1500). Generasi pertamanya adalah Sultan Bayanullah (1500-1522), kedua Sultan Maharani Noekila (1522-1532), ketiga Sultan Tabarija (1532-1536), dan keempat Sultan Chairun Janil (1536-1570).


Di masa muda, Baabullah telah digembleng masalah kemiliteran oleh Salahaka Sula dan Salahaka Ambon. Keduanya merupakan Panglima Kerajaan Ternate. Berkat bimbingan kedua tokoh ini, dalam usia relatif muda Baabullah telah diangkat menjadi Kaicil Paparangan (panglima tertinggi angkatan perang).

Dalam bidang pengetahuan agama Islam, para mubalig istana juga tak jemu-jemunya membimbing Baabullah. Anak muda gagah perkasa ini memang dipersiapkan untuk memegang tampuk kerajaan Ternate. Jadilah ia, selain menguasai ketatanegaraan dan kemiliteran, juga terdidik secara mental sebagai calon sultan pengganti Chairun. Satu lagi, kelak ia diharapkan mampu melaksanakan tugas suci memimpin perang fi sabilillah melawan kecongkakan Eropa.

Saat diangkat menjadi Sultan Ternate yang ke-25, usia Baabullah sudah cukup matang, sekitar 42 tahun. Segenap penghuni kerajaan tak ragu sebab ia telah terlatih secara nyata di berbagai medan pertempuran masa pergolakan melawan Portugis.

Terbukti memang. Perlawanan melawan Portugis semakin garang di masa pemerintahannya. Dalam benaknya selalu teringat saat-saat duka dodora (duka mendalam) ketika ia harus membopong jenazah Sultan Chairun, ayahandanya, yang raganya hancur, diambil jantungnya oleh serdadu Portugis untuk dipersembahkan kepada Rajamuda Portugis di Goa India (1570). Namun spirit yang membuatnya pantang menyerah adalah Ri Jou si to nonakogudu moju se to suba (Hanya kepada Allah tercurah harapan, meskipun ghaib tetap akan disembah karena Dia ada).

Portugis sendiri tiba di Ternate sekitar tahun 1511, dipimpin Admiral Fransesco Serrano. Mereka diterima Sultan Bayanullah (Raja Ternate waktu itu) dengan baik. Tetapi barangkali karena tabiat Portugis yang tidak mengenakkan, kedatangan orang-orang Eropa itu akhirnya menyulut peperangan. Penerus takhta Bayanullah, Sultan Maharani Noekila, dengan tegas menyatakan perang melawan Portugis. Sultan Tabarijja juga mengobarkan api perlawanan, hingga ditawan di Goa dan akhirnya meninggal di Malaka. Ayah SB, Sultan Chairun Jamil, meneruskan perlawanan, sebelum akhirnya meninggal secara tragis. Sang ayah inilah yang terus mengobarkan semangat dan kesadaran sebagai bangsa merdeka di dada putranya, SB. Salah satu nasihatnya yang terekam dalam pita sejarah adalah:

“Antara Islam dan Katolik terdapat jurang pemisah yang lebar. Sejarah kemenangan Islam di Andalusia (Spanyol), Khalifah Barat, membuat mereka membenci dan iri kebesaran Kesultanan Ternate. Mereka menderita penyakit dendam kesumat serta pemusnahan di mana saja setiap melihat negeri-negeri Islam, baik di Goa, Malaka, Jawa, dan kita di Maluku sini. Kalau kita di Ternate kalah maka nasib kita akan sama dengan negeri-negeri Islam di Jawa, Sulawesi, dan Sumatra.”

Sebuah nasihat yang begitu mengesankan bagi SB. Apalagi Portugis selama ini juga dikenal licik sehingga Ternate beberapa kali dikibuli. Misalnya ketika putra mahkota Dayle terbunuh (1532), penyerahan kedaulatan kepada Portugis di bawah King Alfonso II (1536), pelanggaran sumpah agama yang disepakati Sultan Chairun dan Musquita, serta puncaknya berupa tewasnya Chairun secara sadis.

Jadilah kerajaan Ternate di bawah SB sebagai rival terberat yang membuat kolonialis Portugis pusing tujuh keliling. Armada Ternate yang terkenal perkasa, ditambah kapal-kapal dari Jawa (Jepara), Melayu, Makasar, Buton, membuat armada Portugis yang lengkap persenjataannya seakan tak berarti apa-apa. Akhirnya benteng Fort Tolocce (dibangun tahun 1572), Santo Lucia Fortress (1518), dan Santo Pedro (1522), jatuh ke tangan laskar kora-kora Ternate.

Siasat penyerangan dilakukan secara matang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pasukan canga-canga yang beranggotakan suku Tobelo dilengkapi panah api beracun. Laskar Kolano Baabullah bersenjatakan meriam hasil rampasan dari benteng Portugis di Castel Sin Hourra Del Rosario yang merupakan pusat kekejaman Portugis di Asia Tenggara. Di kastel inilah para misionaris dididik untuk menyebarkan agama Katolik di wilayah Maluku dan sekitarnya. Sayang, agama Katolik kurang bisa diterima penduduk Ternate karena terlalu dipaksakan.

Perang terus berkecamuk, baik di darat maupun di laut. Armada kora-kora Ternate mampu membuat kalang kabut korvet (kapal perang kecil) dan fregat (kapal perang ukuran sedang) Portugis. Impian bangsa Portugis sebagai satu-satunya pemasok komoditas rempah-rempah sekaligus membentuk imperium jajahan sebagai bagian dari gerakan glory, gospel, gold (kemuliaan, penyebaran agama, dan kekayaan) turut terkubur oleh keperkasaan laskar Ternate.

Gubernur Alvaro De Atteyda segera menawarkan perdamaian dengan, namun ditolak mentah-mentah. Akibatnya, perang berjalan penuh selama lima tahun (1570-1575). Selama itu pula spirit jihad laskar Ternate senantiasa mampu dikobarkan SB. Kemenangan nyata telah mulai terlihat, sedang Portugis semakin tidak berdaya. Kekalahan bertubi-tubi, terserang penyakit, kekurangan makanan, dan bantuan yang tak pernah tiba, membuat pihak Portugis semakin lemas dan lemah.

SB memimpin perang menurut pola asli kesultanan di mana Tomagola bertanggung jawab atas kawasan Ambon-Seram. Toraitu bertanggung jawab atas kep Sula, Bacan, Luwuk, Banggai, dan Buton. Jougugu Dorure dan Sultan Jailolo termasuk koordinator penghancuran di Halmahera dan Sulawesi.

Tanggal 24 Desember 1575 dengan berat hati Gubernur Nuno Pareira de Lacerda menaikkan bendera putih tanda menyerah total pada SB, sekaligus menyerahkan kota dan benteng Santo Paulo atau kota Sen Hourra Del Rosario yang dikenal kejam itu. Berduyun-duyun orang Portugis penghuni kota tersebut keluar, seirama dengan nyanyian Misa Kudus di malam Natal yang penuh haru dengan linangan air mata perpisahan.

Menyaksikan hal itu, tentara Ternate bersikap ksatria. Orang-orang Portugis diizinkan membawa harta bendanya kecuali senjata dan alat perang. Musuh-musuh Islam terus dicekam ketakutan akan dibunuh laskar jihad Kesultanan Ternate, ternyata diperlakukan seperti layaknya saudara. Begitu senjatanya dilucuti, mereka dintar ke kapal untuk meninggalkan perairan Maluku. Mereka dibawa bergabung dengan Spanyol ke Manila dan sebagian ke Timor Timur.

Khalifah Imperium Islam di Nusantara SB memang amat menjunjung tinggi nilai ajaran Islam. Banyak pembesar kraton yaang akhirnya merasa kecewa dengan tindakan SB. Sebab musuh Islam yang membunuh ayah SB malah diperlakukan dengan baik. Ketika banyak yang mempertanyakan hal itu, SB memberi titah, “Wahai joumbala (rakyat), ketahuilah bahwa ajaran Islam tidak memperbolehkan seorang Muslim mengambil keuntungan karena kelemahan musuhnya dalam perang di medan laga.”

Kesaksian ucapan SB itu membuat para tawanan Portugis yang beragama Katolik semakin terharu atas sikap toleransi beragama yang dipraktikkan SB. Ini mencerminkan sikap seorang pemimpin yang ksatria. Seperti halnya Khalifah Shalahuddin Al-Ayyubi pada masa Perang Salib (1187-1193), SB membebaskan tawanan yang tidak sanggup membayar tebusan, juga tawanan yang mendapat ratapan istrinya.

Kekuatan bangsa Portugis telah dilumpuhkan tanpa kecuali. Pekik kemenangan diserukan pasukan Muslim Ternate, bergema di mana-mana, menyeru keagungan asma Allah: Allahu Akbar...Allahu Akbar!

Dan syair inilah yang selalu dikumandangkan laskar jihad Ternate dalam rangka mengajak persatuan untuk mengusir penjajah Portugis:

Moro-moro se maku gise
No kakoro siwange ma buluke
Si wange ma sosira
Jo Mapolo sara sekore mie
Ino formoni Bismillah!

(Jika panggilan jihad telah diumumkan wajiblah diteruskan pada rakyat, Di matahari naik dan rakyat di matahari masuk, Bersatulah dengan rakyat di angin selatan, Dan rakyat di angin utara, bangkitlah berperang. Dengan niat Bismillah!)

Khalifah Imperium Islam Nusantara

Kemenangan SB dalam memimpin perang `menjebol' Portugis dari Nusantara banyak dianggap sebagai tonggak kemenangan Islam di Nusantara. Kesultanan Ternate mengalami masa gemilang, bebas dari pengaruh Portugis dan Spanyol. Aktivitas dakwah pun begitu gencar dilaksanakan ke seluruh penjuru negeri. Kepulauan Nusa Tenggara menjadi lahan dakwah paling ramai tenaga-tenaga da'i utusan SB.

Dengan kharisma sebagai pemimpin, SB telah menunjukkan keperkasaannya sebagai koordinator andal dari pelbagai suku yang berbeda akar genealogis. Karena itulah ia diakui dan dikukuhkan sebagai “khalifah Imperium Islam” oleh Majelis Sidang Raja-Raja yang bersekutu dengan Ternate di Makassar, pusat kerajaan Gowa.

Sebagai Khalifah Islam Nusantara penguasa 72 negeri, SB menempatkan 6 sangaji di Nusa Tenggara, yaitu: Sangaji Solor, Sangaji Lawayong (NTT), Sangaji Lamahara, Sangaji Kore (NTB dan Bali), Sangaji Mena, dan Sangaji Dili (Timtim). Di pulau Jawa ada 4: Sangaji Lor, Sangaji Kidul, Sangaji Wetan, dan Sangaji Kulon. Di Sumatera ada Sangaji Palembang. Sementara di Irian ada 5, yaitu: Sangaji Raja Ampat (Kolano Fat), Sangaji Papua Gamsio (Sorong), Sangaji Mafor (Biak), Sangaji Soaraha (Jayapura), dan Sangaji Mariekku (Merauke). Di Sulawesi ditempatkan di kerajaan Goa Makassar, Bone, Buton Raha, Gorontalo, Sangir, Minahasa, Luwu, Banggai, dan Selayar. Di Kalimantan ada kerajaan Sabah, Brunai, Serawak, dan Kutai. Begitu pula di Filipina, terdapat di kerajaan Mangindano, Zulu-Zamboango. Sementara di kepulauan Maluku sendiri ada Sangaji Seram, Ambon, Sula, Maba, Pattani, Gebe, dan lain-lain. Bahkan sampai di Mikronesia dekat pulau Marshall kepulauan Mariana, ada Sangaji Gamrangi. Begitu pula di Polinesia dan Melanesia. Begitu luas wilayah kekuasaannya, sehingga banyak yang menyebut bahwa Ternate masa SB bisa dijadikan model negara Islam di Nusantara.

Kerajaan Islam besar itu terus bertahan sampai anak keturunan SB. Anaknya, Sayeed Barakadli (Sayiyudin), pengganti SB, mampu mempertahankan eksistensi Ternate sebagai bangsa yang besar. Cucunya, Sultan Zainal Abidin, mewakili kemaharajaan Ternate dalam pembentukan Aliansi Aceh-Demak-Ternate (Triple Alliance).

Khalifah Imperium Islam Nusantara SB, mangkat pada tanggal 18 Ramadhan 991 H atau 25 Mei 1583 dalam usia 53 tahun. Duka dodora (kesedihan mendalam) melanda bumi Ternate, barangkali sama halnya dengan situasi saat ini tatkala kawasan itu terus berkecamuk. (hidayatullah)

Maluku Utara, Sebuah Kenangan Sejarah

RAKYAT Maluku Utara pantas berbangga, karena pemerintah telah mematrikan sebagian pemandangan dan panorama alam yang indah dari wilayah itu pada salah satu dari dua sisi pecahan uang kertas seribu rupiah seri terbaru. Jika pada sisi sebelah terpampang gagah berani gambar pahlawan nasional asal Maluku: Kapitan Patimura, maka di sisi lainnya tampak gambar Pulau Maitara dan Tidore serta sebagian Laut Maluku yang indah tenang tetapi menyimpan kekayaan beragam jenis ikan.

Jika ditelusuri, sebetulnya lembaran uang seribu rupiah seri terbaru ini sedang bercerita panjang lebar tentang wilayah Maluku, termasuk Maluku Utara. Dipatrikannya keindahan alam Maluku Utara dalam lembaran seribu rupiah amat membanggakan, sebab peluang sebuah obyek atau daerah untuk tampil dan selalu dilihat orang-seperti halnya gambar Maluku Utara di atas lembaran rupiah-amat jarang terjadi.

Kalaupun tersedia kesempatan bagi daerah lain tampil seperti Maluku Utara di pecahan mata uang, tentu harus menunggu puluhan atau mungkin ratusan tahun ke depan. Itu pun harus lolos beragam seleksi ketat. Keputusan manajemen Bank Indonesia untuk mematrikan Maluku Utara ke dalam seri pecahan seribu rupiah terbaru dinilai sangat pas.

Provinsi Maluku dan Maluku Utara, menurut catatan sejarah, memang sarat menyimpan cerita-cerita kepahlawanan melawan penjajahan Belanda serta imperialisme Eropa. Mutu rempah-rempah asal daerah ini sangat tersohor ke seluruh dunia. Belakangan, tampilnya kekayaan laut di arena pasar internasional ternyata telah membuat kedua daerah-yang baru saja dilanda perang saudara-itu menjadi incaran para pengusaha
asing dan domestik.

***

LIHAT saja ribuan dan mungkin puluhan ribu kapal penangkap ikan milik asing dan domestik, ataupun asing yang berbaju domestik, yang berkeliaran di Laut Maluku. Atau lihat pada fakta hadirnya puluhan perusahaan nasional dan asing yang sudah dan sedang berupaya menanamkan kuku-kukunya di Maluku dan Maluku Utara.

Momentum pembangunan ini memang sempat melemah menyusul pecahnya perang saudara, konflik horizontal yang amat dahsyat dan telah mengakibatkan 2.364 warga tewas, 1.769 luka berat/ringan serta 2.315 warga lari dan hilang di hutan-hutan, selain belasan ribu rumah dan fasilitas umum musnah terbakar. Belum lagi korban harta benda lain serta anjloknya nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang sulit diukur dan dikalkulasi secara matematika.

Pendek kata, perang saudara yang sudah dan sedang berakhir itu telah menyentak warga Maluku, khususnya Maluku Utara untuk bangkit kembali dari keterlenaan perang, maut dan kematian, kesengsaraan, kebencian, serta kebodohan.

Warga Maluku Utara kembali diingatkan bahwa ternyata Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara). Kalau begitu, kata para warga Ternate, Ibu Kota Maluku Utara, buat apa berperang yang kemudian berakibat sangat parah terhadap generasi baru, generasi anak cucu yang pada akhirnya harus memikul beban sangat berat, yakni dilanda kebodohan, kemiskinan, serta kemelaratan dan ketertinggalan.

***

SEMANGAT atau roh persaudaraan dan perdamaian yang hilang kini kembali mulai bersemi di Maluku Utara. Di mana-mana warga bertutur tentang mubazirnya perang. Arena perang ternyata cuma melahirkan saling membunuh, saling menghabisi, dan menanamkan kebencian yang sangat dalam.

"Memang di sana-sini masih ada persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Tetapi, secara keseluruhan rakyat di mana-mana bertutur tentang betapa hidup dalam damai jauh lebih menyenangkan dan oleh karena itu harus dikembalikan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Maluku Utara SH Sarundajang, yang juga Inspektur Jenderal Depdagri kepada Kompas, pekan lalu di Ternate, Ibu Kota Maluku Utara.

MENENGOK Maluku Utara, tidak lengkap jika tidak mengungkap sejarah masa lampaunya yang kaya dengan beragam cerita kepahlawanan, khususnya empat Kesultanan yang menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat di wilayah itu.

Menurut catatan sejarah, Maluku Utara pada awalnya digambarkan sebagai gugusan pulau-pulau mini yang kemudian diberi nama Maluku atau pulau kembar, Ternate dan Tidore. Kedua pulau itu mulai ramai dibicarakan sejak abad XV, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kepulauan Maluku.

***

SEJAK abad XV, saudagar-saudagar Eropa (Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis), Arab, India, Cina, dan Persia secara rutin mampir ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah, khususnya cengkeh dan pala. Sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbesar di dunia kala itu, Ternate dan Tidore menjadi tujuan utama para saudagar yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia, terutama saudagar Eropa dan Arab, serta Cina.

Dari sekadar berdagang, selanjutnya muncul keinginan kuat dari para utusan dagang negara-negara asing untuk menguasai Tidore dan Ternate. Bagi mereka, menguasai Maluku (Tidore dan Ternate) sama dengan menguasai produksi rempah-rempah dunia. Karena itulah kemudian terjadi persaingan sangat ketat dari berbagai kekuasaan asing untuk menguasai atau minimal memperebutkan pengaruh di negeri itu.

Negeri ini juga dikenal dengan sebutan Moluku Kie Raha (empat gugusan pulau/gunung), sebutan untuk empat Kesultanan di wilayah itu: Tidore, Bacan, Jailolo, dan Ternate. Secara harafiah, Moluku Kie Raha berarti gugusan empat pulau bergunung. Istilah itu seperti dikutip dari buku Profil Maluku Utara didasarkan pada eksistensi empat kesultanan yang berpusat di empat kaki gunung yang hingga kini masih eksis.

Dituturkan, empat kesultanan itu bersaudara kandung hasil perkawinan Djafar Sadik dan Boki Nursaefah. Di dalam menjalankan pemerintahan, masing-masing kesultanan dibantu beberapa Bobato (pembantu sultan) yang terbagi dua, Bobato Dunia dan Bobato Akhirat.

Keempat kesultanan itu, menurut laporan sejarah, mendominasi perjalanan sejarah Maluku, termasuk mampu membangun hubungan dengan berbagai kerajaan lain di Indonesia maupun Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Pada bulan Desember 1511, M de Albuquerque, wakil negara Portugis yang berkedudukan di Malaka untuk pertama kali mengirimkan ekspedisi tiga kapal menuju Maluku.

Ekspedisi yang dipimpin Antonio de Abreu dan Fransesco Serrao tiba di Ternate pada tahun 1512 yang kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi Portugis kedua pada tahun 1513. Ekspedisi kedua itulah yang diterima oleh Sultan Ternate dan sekaligus menjadi awal dimulainya Maluku memainkan politik serta diplomasi internasional. Selanjutnya, pada tahun 1521, bangsa Spanyol tiba dengan Kapal Victoria dan Trinidad di Tidore.

Namun, dalam tahun 1522, Portugis yang dipimpin Antonio de Brito berhasil mengusir Spanyol. Setelah Spanyol meninggalkan Tidore, de Brito menuju Ternate dan selanjutnya diangkat sebagai gubernur pertama untuk Maluku. Dengan Kesultanan Ternate, Portugis berhasil membangun perjanjian yang berisi, pertama, Portugis dibolehkan mendirikan benteng di Pantai Gamlango Ternate. Kedua, Portugis diizinkan berdagang dan mendirikan gudang di Ternate. Dan ketiga, semua rempah-rempah hanya boleh dijual ke Portugis dengan harga per bahar cengkeh (sekitar 600 pon) sekitar 32 ringgit.

Pada tahun 1523, terjadi perlawanan pertama dari Sultan Ternate dan Tidore yang menentang monopoli perdagangan cengkeh. Sultan Tidore Al Mansor dan Permaisuri Sultan Ternate Nyai Cili Boki Raja memimpin langsung perlawanan habis-habisan terhadap kelicikan Portugis dengan kebijakan monopoli dagangnya itu.

Perlawanan serupa juga dilakukan habis-habisan terhadap Spanyol, Inggris, dan Belanda, karena ternyata kehadiran bangsa-bangsa asing itu sama dengan misi yang dibawa Portugis. Mereka semua ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di Maluku. Cerita kepahlawanan yang nyata berpihak kepada rakyat, terus berlangsung dalam sejarah Indonesia.

***

UPAYA pembentukan Maluku Utara sebagai provinsi sendiri sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1957, seiring dengan upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia dari genggaman Belanda. Lewat Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1956, Soa Siu (Tidore) ditetapkan sebagai ibu kota sementara Provinsi Irian Barat.

Perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara kembali digaungkan pada tahun 1963 oleh para pemimpin politik di wilayah itu, seperti PSII, Partindo, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, dan Parkindo. Perjuangan ini kembali kandas dan melemah setelah memasuki tahun 1965 serta selama era Orde Baru.

Memasuki era reformasi, barulah perjuangan rakyat dan kaum politisi untuk membentuk Provinsi Maluku Utara memperoleh sambutan DPR dan Departemen Dalam Negeri. Maluku Utara resmi menjadi provinsi otonom lewat terbitnya UU No 46/1999, tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi ini terdiri atas tiga wilayah kabupaten dan kota, masing-masing Kabupaten Maluku Utara, Halmahera Tengah, dan Kota Ternate.

"Inti pembentukan Provinsi Maluku Utara selain sebagai wujud dari keinginan untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Juga tidak kalah penting, institusi Provinsi Maluku Utara adalah bagian dari obsesi rakyat Maluku Utara untuk menampilkan diri bahwa rakyat Maluku Utara juga dapat berbuat bagi rakyatnya dan bagi RI, seperti sudah dibuktikan lewat sejarah masa lalu rakyat daerah ini yang mampu berperang habis-habisan melawan kolonialisme dan imperialisme Eropa," ujar Abdul Kahar Taslim SE, Ketua Bappeda Maluku Utara kepada Kompas di Ternate.

Beberapa tokoh Maluku Utara mengatakan, pecahnya perang saudara telah membuat wilayah yang potensial-dengan luas daratan 33.278 kilometer persegi serta dikelilingi laut seluas 106.977 kilometer persegi-menjadi terpuruk. Upaya percepatan pembangunan lewat institusi provinsi yang terdiri atas 395 pulau besar kecil ini pun mandek. Pejabat gubernur yang ditugasi mempersiapkan organisasi pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Waktu yang tersedia akhirnya tersedot hanya pada upaya-upaya meredam konflik dan perang, serta belakangan dipusingkan dengan persoalan pemulangan pengungsi yang mencapai angka sekitar 250.000 orang. (Freddy Roeroe/Muhammad Bakir/kompas)

Kota Ternate, Bakal Masuk Jaringan Internasional

TAK pelak lagi, ke depan Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara (Malut) bakal menjadi salah satu kota terkemuka di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Keunggulannya bukan cuma karena didukung sumber daya alam yang berlimpah, tetapi juga terutama karena letaknya di alur Laut Maluku, yang masuk jaringan lalu-lintas perdagangan internasional.

Menurut konsep jaringan perdagangan internasional Australia yang berpusat di Darwin, Australia Utara, Laut Maluku menjadi alur laut yang sangat penting dalam perdagangan internasional Australia-Asia Pasifik. Konsep Perdagangan internasional Australia yang dimulai dengan pembangunan jalan kereta api Selatan-Utara, menghubungkan seluruh kota di bagian selatan, timur dan barat Australia ke Darwin, menempatkan Laut Maluku sebagai alur lalu lintas laut strategis, karena letaknya di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) III.

Upaya membangun jalan kereta api Selatan-Utara yang dikembangkan Australia dimaksudkan untuk mengefisienkan seluruh jalur perhubungan laut agar mampu bersaing, guna memenangkan kompetisi ketat di Pasar Pasisfik. Jika selama ini basis utama perdagangan internasional Australia berpusat di Adelaide, dalam konsep ke depan, peran tersebut akan dimainkan oleh Kota Darwin.

Kapal-kapal yang berlayar dari dan ke Darwin Australia melalui ALKI III, Laut Maluku dan Laut Banda berpeluang menyinggahi pelabuhan atau kota di KTI, terutama Ternate dan juga Bitung. Di sinilah peluang Ternate ke depan bisa menjadi bagian integral dalam konteks perdagangan internasional yang dirancang Australia.

Selain keunggulan geografi, serta sebagai kota yang memiliki nama internasional sejak era 1518, saat Armada Portugis yang dipimpin D'alberqueque pertama kali menginjakkan kaki di pulau yang kaya rempah-rempah (cengkeh dan pala). Boleh dikatakan, globalisasi serta sentuhan internasional melanda Ternate lewat pengenalan dengan bangsa Portugis dan Belanda.

Melihat catatan sejarah, bukan hal mustahil bila dalam konsep jaringan perdagangan internasional, Ternate masuk dalam skenario global. Juga dalam kerangka bermain di dunia internasional, sejarah mencatat, Ternate bukanlah ikon baru. Bahkan, dalam berbagai ensiklopedi, nama Ternate yang kaya rempah-rempah serta kiprah Kesultanan Ternate ikut dicatat sebagai kota penting dalam perjalanan sejarah dunia.

Persoalannya, bagaimana Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Pemerintah Kota Ternate, terutama rakyatnya ikut aktif mempersiapkan kota ini menjadi berdimensi internasional, modern, tetapi tetap religius.

Kota Ternate yang kesohor ke seluruh dunia lewat nama besar Kesultanan Ternate, rempah-rempah dan belakangan ini kaya ikan, hasil hutan dan hasil-hasil tambang ditantang untuk mempersiapkan diri tampil di forum nasional dan internasional.

Semestinya, otonomi daerah atau desentralisasi atau pendelegasian kewenangan urusan pembangunan, kemasyarakatan dan pemerintahan akan memperkuat, sekaligus mempercepat upaya Ternate menampilkan diri ke berbagai arena. Terutama dalam kerangka kesejahteraan rakyat. Kota ini harus berjuang keras mencairkan predikat negatif akibat konflik sosial tiga tahun terakhir yang sempat memakan korban ribuan manusia tewas.

Begitu pentingnya Ternate dalam perjalanan sejarah bisa dilihat pada keputusan pemerintah, khususnya Gubernur Bank Indonesia yang menempatkan gambar Pulau Maitara dan Tidore pada lembar uang seribu rupiah. Kesempatan yang amat langka itu jatuh pada pilihan ke-dua pulau di depan Kota Ternate, itu tak terpisahkan karena peran sejarah yang ikut menghias perjalanan Bangsa Indonesia.

KOTA Ternate dan juga Provinsi Maluku Utara, seperti ditegaskan Gubernur Thaib Armayn yang dilantik sebagai gubernur definitif November 2002, menyimpan potensi untuk tampil sejajar dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Bahkan, ke depan Ternate dapat menjadi lokomotif pengembangan KTI bersama Kota Bitung dan Manado.

Sinergitas Ternate dengan Manado serta Bitung menurut Thaib Armayn bakal menjadi simpul atau saran penting bagi tampilnya Ternate dan Maluku Utara pada umumnya. Namun, lepas dari beragam peluang itu, di antara warga Ternate dan Manado terjalin hubungan kekeluargaan yang sangat kental.

Kawin mawin di antara kedua komunitas, Ternate dan Manado ikut menjadi ciri khas perjalanan sejarah kedua suku. "Ini pula yang akan mewarnai beragam kemungkinan positif ke depan di antara kedua wilayah dan kedua komunitas," ujar mantan Pejabat Gubernur Malut SH Sarundajang yang kini dipercaya menjadi Penjabat Gubernur Maluku.

Sarundajang menambahkan, keterbukaan warga Ternate semestinya didorong terus. Damai yang bersemi harus dipupuk dan disiram terus-menerus agar mampu tumbuh subur pada semua warga.

Gubernur Thaib Armayn menambahkan, peningkatan fasilitas pelabuhan serta Bandar Udara Sultan Babullah, termasuk peningkatan fasilitas pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi fokus perhatian kepemimpinannya lima tahun ke depan.

Menjual Ternate, dalam arti mempromosikan Ternate ke arena internasional juga tidak sesulit menjual kota-kota lain yang belum dikenal.

Tawaran-tawaran mengundang investasi mancanegara bakal tidak sesulit kawasan lain, karena Ternate sudah dikenal dunia, berada di alur pelayaran dunia, memiliki sumber daya alam yang potensial. (fr/kompas)

Masjid Sultan Ternate

Ada perbedaan pendapat mengenai waktu pembangunan Masjid Sultan Ternate. Sebagian pendapat mengatakan masjid ini dibangun pada 1633 M oleh Sultan Hamzah. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa, masjid ini dibangun pada tahun 1606 M. Jika dilihat dari tradisi kerajaan Islam yang pernah berdiri di kawasan nusantara, pembangunan masjid sultan Ternate pada awal abad ke-17 ini agak berbeda dari kebiasaan.

Hampir di seluruh pelosok nusantara, pengislaman suatu kerajaan selalu diiringi dengan pembangunan masjid kerajaan. Dalam tradisi kerajaan Islam di Jawa, posisi masjid itu bahkan menyatu dengan istana. Sementara di Ternate, telah diketahui dengan jelas bahwa, Raja pertama yang secara resmi memeluk Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486 M), tapi mengapa masjid kerajaan baru dibangun pada abad ke-17 M, satu setengah abad setelah Kolano Marhum?

Dalam hal ini, sejarah di Ternate menjadi agak berbeda dengan kawasan lainnya. Posisi halaman masjid yang tidak menyatu dengan istana kerajaan yang dibangun pada tahun 1234 M juga menunjukkan bahwa, ada kemungkinan tahun pembangunan masjid ini berbeda dengan pendirian istana. Namun, mengapa selisih waktu pembangunannya mencapai satu setengah abad?

Jika data sejarah pembangunan masjid sultan Ternate di atas benar, pertanyaannya adalah: di mana sultan dan para pembesar istana shalat sebelum masjid ini didirikan? Atau ada penjelasan lain, kemungkinan, proses pengislaman yang belum selesai di Ternate, sehingga keislaman para sultan tersebut belum terlalu kuat; mereka belum melakukan ritual-ritual keislaman.

Pendapat ini juga agak sulit diterima, mengingat putera Kolano Marhum, yaitu Sultan Zainal Abidin (1486-1500 M) pernah berguru pada Sunan Giri di Gresik. Maka, tentulah penguasaan keislaman Sultan ini sudah baik.

Dalam sejarah Ternate, kejayaan dicapai dimasa Sultan Baabullah (1570-1583 M). Lantas, di mana mereka melakukan ritual keagaaman pada masa itu, sebab masjid belum didirikan? Semua masih teka-teki. Ada dugaan, sebenarnya masjid tersebut dibangun jauh lebih awal, bukan pada abad ke-17 M. Kapan? Entahlah. Sebuah pendapat lain mengatakan bahwa, masjid ini dibangun pada sekitar abad ke-13 M, lebih awal dari periode pemerintahan Kolano Marhum.

Saat ini, selain bangunan masjid yang masih utuh, peninggalan lain yang masih bisa ditemui di dalam masjid adalah empat buah koleksi kitab al-Quran, hasil tulisan ulama Ternate sendiri. Tulisannya masih jelas dan kertasnya masih baik, belum lapuk dimakan zaman, walaupun usianya sudah berabad-abad. Selama bulan Ramadan, al-Quran ini masih digunakan oleh masyarakat untuk /tadarusan/. Pada sisi selatan-timur masjid, terdapat sebuah sumur tua yang menyatu dengan masjid, digunakan untuk tempat berwudu.

Berkaitan dengan tradisi pada masa dulu, pada hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Sultan Ternate biasanya naik di kursi kerajaan yang disebut /ngorareici/, kemudian ia diusung oleh para pengawalnya sejak dari istana sampai ke masjid.

Dekat Istana Sultan

Masjid ini terletak tidak jauh dari Istana Sultan Ternate, posisinya di bagian selatan-timur istana, namun, halaman masjid tidak berhubungan langsung dengan istana. Di bagian utara (belakang) masjid, terdapat benteng Oranye yang dibangun Belanda antara 1606-1607 M.

Arsitektur

Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya pengaruh Jawa, ditandai dengan hadirnya /soko guru/ yang menyangga atap puncak yang berbentuk piramidal, dengan kemiringan tajam seperti pada konstrukis /tajug./ Masjid ini juga memiliki serambi yang lebar, hampir selebar ruang sembahyang utama.

Bahan atap masjid dbuat dari daun rumbia (pohon sagu). Atap masjid tersebut bertumpuk empat, dengan kemiringan yang tidak tajam, kecuali pada atap puncaknya. Di antara atap puncak dan atap bawahnya, terdapat celah kecil, namun tidak cukup untuk difungsikan sebagai ventilasi untuk masuknya udara dan cahaya ke dalam ruagan. Pada setiap sisi atap puncak, terdapat jendela atap.

Pada halaman depan, tepat pada sumbu garis mihrab, terdapat unit bertingkat. Di bawah unit bertingkat tersebut terdapat kolong, sementara bagian tasnya untuk tempat azan dan bedug. Unit ini berbentuk bujur sangkar, atapnya seperti atap ruang sembahyang utama, namun hanya dua lapis (tumpuk).

Mengingat usia masjid yang sudah begitu tua, sudah pasti masjid ini telah pernah direnovasi. Namun, data rinci mengenai proses renovasi ini belum didapat. Proses renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1995. Saat itu, atap rumbia masjid diganti dengan seng, agar lebih tahan lama.***

Ternate dan Sejarah Syi'ah (4-selesai)

Bukti bahwa Syi'ah pernah berpengaruh kuat di Ternate dapat dilihat dari beberapa tradisi Islam yang bercorak Syi'ah. Di sini hanya disebutkan beberapa tradisi yang paling menonjol. Pertama, tradisi Asyura berupa ta'ziah dan bubur asyura. Ta'ziah adalah adegan dramatis massal yang mencerminkan seluruh episode kematian Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan dan kesiapan berkorban.

Di Ternate, ta'ziah, disebut /badabus/, dilakukan secara demikian: Setelah narasi dilakukan di suatu rumah atau gedung, para hadirin lalu menghujamkan benda tajam semacam gardu ke dadanya secara berulang kali hingga mencapai kondisi ekstase. Ritus ini dilakukan pada 1 Muharram atau pada haul seseorang di hari ke-44. Orang Ternate memang tak melakukan ta'ziah selama sepuluh hari (1-10 Muharram), namun sepanjang sepuluh hari itu, yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang melakukan berbagai hal yang mengandung risiko.

Anak-anak misalnya, dilarang memanjat pohon atau memainkan permainan "berbahaya". Mereka lebih dianjurkan berdiam di rumah. Seluruh keluarga lalu membuat bubur asyura yang akan dibagikan kepada tetangga dan kerabat dekat. Bubur asyura adalah bubur santan berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan, dan kentang.

Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas, bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari asyura, sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.

Keduaritus lailatulqadar. Tiga hari sebelum lebaran Iedul Fitri, tiap malam rakyat membakar api unggun atau obor di depan rumah masing-masing. Tradisi ini jelas berasal dari Persia kuno. Dalam kitab-kitab Persia kuno mengenai Naw Ruz ( tahun baru), diceritakan bahwa perayaan api unggun merupakan adat masyarakat, khususnya pada malam tahun baru. Api unggun yang secara tradisional dinyalakan orang Iran pada hari Rabu di akhir tahun berasal dari kebiasaan purba. Orang Persia menghormati api karena diyakini dapat menjernihkan udara. Pada zaman Daulah Umayah khususnya, segala hal yang berkaitan dengan Naw Ruz dilarang. Tapi tradisi ini sanggup bertahan karena konon mendapat pembenaran dari Nabi Muhammad dan Imam Ali.

Pada zaman Islam, Muslim Iran menyalakan lilin sebagai simbol penghormatan pada api dan meletakkan Al-Qur'anul Karim di antara Haft-Sin (tujuh jenis sajian dengan huruf 's' di meja) untuk menunjukkan penghormatan pada kitab suci tersebut.

Ketiga, orang Ternate akrab dengan khasanah kebudayaan Syi'ah. Ini bisa dilihat dengan populernya nama-nama yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam Ali, seperti Ibrahim, Qasim, Umi Kalsum (atau kalsum saja), Fatmah (Fatimah), Zainab, Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, dan Husein. Juga kisah-kisah mengenai kekuatan supranatural Imam Ali. Misalnya, dikisahkan bahwa suatu hari minyak yang baru dibeli seorang anak tumpah di jalan berpasir. Ia menangis karena takut dimarahi orang tuanya. Kebetulan Imam Ali lewat. Beliau lalu mengambil pasir tempat tumpahnya minyak dan memerasnya. Hasilnya, seluruh minyak yang tertumpah itu bisa diperoleh kembali secara utuh. Jelas, ini merupakan tradisi Syi'ah.

Tradisi Syi'ah yang dikatakan di atas ternyata masih dipraktikkan sebagian masyarakat sampai sekarang. Namun sejak kerajaan di sana pada pertengahan abad ke-15 mulai menganut faham Aswaja, pengaruhnya berangsur-angsur pudar, malah popularitasnya makin redup sejak gerakan pembaruan Islam, terutama yang dipelopori gerakan Muhammadiyah dan Wahabisme, masuk ke Ternate pada abad ke-20 ini. Kalau tak ada gerakan kebangkitan kembali dan pelestarian segenap budaya Islam tersebut, nampaknya tradisi-tradisi semacam itu cepat atau lambat akan sirna seiring dengan perjalanan waktu.

Wallahu 'alam bissawab
Smith Alhadar

1. Bahar Andili, .Profil Daerah Maluku Utara., dalam Halmahera dan Raja Ampat, LEKNAS-LIPI, 1980, hlm. 3.

2. Paramita R. Abdurrahman, .Kegunaan Sumber-sumber Portugis dan Spayol untuk Penulisan Sejarah Maluku Utara., ibid., hlm. 250.

3. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1981, hlm. 3.

4. Mr. Hamid Algadri, C. Snouch Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, 1984, hlm. 43.

5. Ibid., hlm. 41.

6. Ibid., hlm. 42.

7. Hasan Muarif Ambary, .Persebaran dan Signifikasi Tinggalan Arkeologi di Ternate., dalam Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera, 1997.

8. Adrian B. Lapian, .Ternate sekitar Abad XVI Menurut Catatan Antonio Galvao, Kapitan di Ternate 1536.1539., dalam ibid.

9. Willard A. Hanna & Des Alwi., Ternate dan Tidore: Masa lalu penuh gejolak, 1996, hlm. 4-5.

10. Ibid.

11. Muslims in the Philippines, 1973, hlm. 42.

12. Ibid.

13. M. Shaleh A. Putuhena, hlm. 264.

14. A. Rahman Marasabessy, .Masuknya Agama Islam di Ternate dalam Pandangan Tokoh-tokoh di Ternate: Sebuah telaah pemurnian sejarah Islam di Ternate., dalam Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutera, 1997, hlm. 39.

15. Algadri, op. cit., hlm. 39.

16. Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI., dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, 1989, hlm. 194-199.

17. Adakah Kerajaan Islam Negara Islam Pertama di Asia Tenggara., dalam ibid., hlm. 143, 156-157.

18. Ensiklopedi Islam Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, 1986.

19. A.G. Muhaimin, .The Morphology of Adat, The Celebration of Islamic Holy Day in North Coast of Java., Studi IslamikaV. III, No.3, 1999, hlm. 109.