Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (4)

Hilangnya watak individualistis dalam rumusan hak asasi manusia yang terdapat pada pasal 28A sampai dengan pasal 28J UUD 1945, sangat terasa bila dihubungkan dengan pasal 27 ayat (2), Pasal 33 dan 34. Penghidupan yang layak bagi kemanusiaan mengandung arti bahwa setiap individu tidak memliki keleluasaan untuk memilih pekerjaan yang disenanginya dengan alasan merupakan hak asasinya.

Pekerjaan yang dipilih dan dilakukan haruslah pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kelayakan pekerjaan harus diukur berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Perbudakan tentu bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Penjualan manusia, juga bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itulah, maka negara harus mengambil peran secara aktif untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.

Masuknya negara ke dalam setiap usaha untuk menciptakan keadaan penghidupan yang layak merupakan suatu kewajiban konstitusional. Penyelenggara negara tidak boleh berdiam diri dalam situasi apapun. Inilah yang membedakan konsep konstitusionalisme klasik, yang menempatkan negara sebagai penjaga malam demi kebebasan manusia agar mereka - setiap individu - mengusahakan sendiri kesejahteraannya, tidak lagi berlaku seiring dengan munculnya konsep konstitusionalisme mutakhir yang mulai berkembang sejak pertengahan abad ke 19.

Pasal 33 UUD 1945 mengandung gagasan dasar dan atau kaidah, bahwa keadaan ekonomi tidak boleh dibiarkan berkembang sendiri menurut hukum pasar. Bila Pasal 33 ini diinterpetasi, baik secara gramatikal maupun sistematis, maka gagasan yang terdapat dalam pasal ini adalah tata ekonomi harus diatur oleh negara. Kata-kata perekonomian yang terdapat pada awal kalimat rumusan Pasal 33 ayat (1) mengandung arti bahwa orde ekonomi tidak boleh dibiarkan tercipta sesuai dengan gerak ekonomi itu sendiri. Orde ekonomi harus ditata oleh negara.

Watak orde ekonomi yang harus dikembangkan adalah saling membesarkan atau mengangkat. Watak ini haruslah dipandu dengan prinsip bahwa pengakuan terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum, dan pembangunan. Tujunnya adalah agar sesama individu mengembangkan sikap saling membantu. Di sisi lain pengakuan ini juga mengandung arti bahwa negara tidak boleh mengabaikan sedikitpun hak-hak individu yang telah diakui, untuk dan atas nama kepentingan apapun.

Watak orde ekonomi di atas harus dipelihara dan dikembangkan secara sungguh-sungguh, sehingga memiliki kapasitas dalam mencegah lahirnya fakir miskin. Semangat Pasal 34 UUD 1945 adalah kelompok manusia ini – fakir miskin harus dipelihara oleh negara. Kewajiban ini akan hilang bila tidak ada lagi orang yang berkategori fakir miskin. Karena itu, maka harus diciptakan orde ekonomi, bahkan orde sosial, hukum dan sosial yang memungkinkan semua orang memperoleh kesempatan untuk berkerja secara layak, dan berpendapatan secara layak pula demi mengangkat harkat dan martabatnya.

Semangat konstitusionalisme mutakhir juga tercermin pada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan negara untuk mengembangkan suatu sistem jaminan sosial. Sistem ini telah lama berkembang di Inggris, Perancis dan Jerman, sekurang-kurangnya setelah perang dunia kedua. Padahal dari Inggris dan Perancis lah lahir konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Karena teks Pasal 34 ayat (3) menggunakan kata “Sistem” maka penyelenggara negara diwajibkan untuk membangun tatanan jaminan sosial itu. Penyelenggara negara pun diwajibkan untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum lainnya. Kewajiban ini digariskan secara jelas dan tegas dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 (setelah diubah).

Dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) maka watak modernitas konstitusonalisme Indonesia pasca amandemen UUD 1945, memesankan terbentuknya tatanan hukum yang memungkinkan tumbuhnya pluralitas hukum, bukan tatanan hukum yang monolitik dan sentralistik, sebagaimana dipraktikan pada masa lalu.

Dalam tata hukum yang berwatak pluralitas itu, dimungkinkan hukum adat, agama, dan praktik-praktik penyelesaian konflik yang telah terlembagakan dalam setiap lingkungan sosial, tetap eksis dan menginspirasi pembangunan hukum. Hukum dalam arti itu, tidak hanya terbatas pada apa yang dilahirkan dan dibentuk oleh negara, melainkan mencakup apa yang diyakini dan eksis di dalam kehidupan masyarakat. ***

No comments: