Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (5)

Dua Aspek Penting

1. Substansi Hukum

Pembangunan hukum merupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif. Sebagai satu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya.

Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, DPR berada di jantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasi secara normatif menjadi kaidah hukum. Apa jadinya kalau mereka tidak peduli pada makna-makna yang terkandung dalam UUD 1945. Apa jadinya kalau hasil studi banding mereka, tidak lagi diharmoniskan dengan makna-makna UUD 1945?

Arah pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan.

Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukanlah negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata. Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas.

Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Meminjam konsep Lawrence Friedman, norma hukum adalah aspek subtansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondary rules yang dikonsepkan oleh H. A. L Hart. Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif model Hart, memainkan peranan yang amat menentukan bagi kapasitas hukum positif.

Aparatur dan kultur hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan hukum. Ini berarti pula bahwa pembentukan, tata kelola, tata nilai, orientasi dan mimpi-mimpi orang tentang hukum harus menjadi prioritas utama. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja terlihat ada cacat celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam. Satu di antaranya adalah norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.

Agar hukum memiliki kapasitas yang layak dan tata kelolanya berjalan bagus, maka perlu pula mempertimbangkan penilaian Presiden B.J. Habibie. Presiden B.J. Habibie secara tepat memandang aspek sarana pendukung, termasuk teknologi sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya bagi pembangunan hukum. Pelayanan hukum macam apakah yang akan diberikan kepada pencari keadilan, atau perlindungan hukum macam apakah yang harus diberikan kepada masyarakat di daerah terpencil, bila Polres atau Polsek tidak memiliki kendaraan?

Berkaitan dengan tata kelola hukum, khususnya menyangkut perencanaan substansi hukum, kenyataan menunjukan bahwa Rancangan Undang-Undang sangat sering datang dari setiap Departemen atau Komisi, tergantung departemen mana yang memprakarsai pembentukannya. Semuanya bermuara di DPR. Sesuai dengan kelaziman, memang harus dipercaya bahwa gagasan-gagasan yang tertuang dalam RUU pasti telah melalui tahapan pembahasan internal institusi yang memprakarsainya.

Kenyataan juga menunjukan bahwa pembentukan suatu RUU sangat sering didahului dengan studi banding ke berbagai negara. Kajian terhadap substansi RUU pun selalu melibatkan kalangan ahli, baik hukum maupun non hukum. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang baik dan pantas untuk dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih jauh pada masa-masa yang akan datang. Sebab pada level ini banyak hal dapat dilakukan, misalnya memetakan ketentuan-ketentuan hukum positif, yang, bila tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya disharmoni tatkala RUU akan ditingkatkan menjadi UU.***

No comments: