Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (7/penutup)

2. Budaya Hukum
Dibanding dengan substansi hukum, budaya hukum merupakan perkara tersulit dalam membangun hukum. Inilah yang sedang dialami oleh kita semua. Masalah utama dalam substansi hukum adalah cara merumuskan suatu pandangan menjadi norma atau kaidah, sedangkan masalah utama dalam budaya hukum justru jauh lebih kompleks. Norma atau kaidah dalam satu pasal memang harus dijadikan patokan perilaku bagi setiap orang. Akan tetapi siapa yang mau bersusah payah mempelajari norma-norma dan kaidah itu. Siapa pula yang mau bersusah payah mengkampanyekan norma-norma itu. Perilaku orang tidak selalu dapat dibentuk melalui jalan paksaan. Apalagi tidak semua undang-undang mengandung sanksi.

Membentuk undang-undang memang merupakan bagian dari budaya hukum. Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum itu bukanlah hukum. Budaya hukum, secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. Soal-soal itu adalah nilai, orientasi – apa yang dipikirkan - dan mimpi-mimpi orang tentang hukum dalam arti luas. Hukum dalam arti empirik adalah apa yang diperagakan oleh orang-orang yang diberi otoritas oleh negara untuk menjalankan suatu undang-undang. Dalam arti empirik itu pula, hukum mewujud pada tindakan kongkrit yang seirama atau tidak seirama dengan kaidah-kaidah dalam undang-undang.

Sanksi-sanksi tidak selalu dapat dipaksakan. Dalam administrasi negara, pencabutan izin, penurunan pangkat - demosi, dan lainnya memang dapat dipaksakan, tetapi apa sanksinya bila pelayanan oleh sebuah institusi dilakukan secara setengah hati. Apa yang dapat dilakukan kalau misalnya usulan kenaikan pangkat seseorang harus melewati waktu yang begitu panjang? Hilang ayam, dapat berubah menjadi hilang kuda ketika seseorang yang kehilangan ayam membawa perkara itu ke otoritas negara, adalah ungkapan sinis yang sudah sangat akrab di telinga kita. Kalau dapat dibuat ruwet, mengapa harus dibuat mudah, juga sama akrabnya di telinga kita. Kalau dapat nyelonong, mengapa harus beli tiket? Kalau dapat disuap atau dinegosiasi, mengapa harus antri berlama-lama atau harus mengikuti prosedur?

Secara konseptual, budaya hukum menunjuk pada sikap dan tindakan yang nyata-nyata terlihat, tentu merupakan refleksi dari nilai dan orientasi serta harapan yang ada pada seseroang atau kelompok. Karena itu, maka sikap dan tindakan apapun yang dilakukan oleh siapapun, khususnya yang berkaitan dengan hukum, dirumuskan dan diterima sebagai budaya hukum. Jadi dalam arti seperti ini, budaya hukum tidaklah mesti merupakan atau hanya menunjuk perilaku atau sikap yang baik saja atau yang buruk saja.

Sikap apresiasi terhadap hukum seperti apakah yang harus dibangun dan siapa yang harus berada di garda terdepan untuk membangun apresiasi terhadap hukum? Bila dikembalikan pada gagasan dasar yang terkandung dalam UUD 1945, maka sikap yang harus dibangun atau dikembangkan adalah sikap yang terbuka, hormat menghormati, dan tidak individual. Pilihan terhadap negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bermakna negara hukum yang demokratis, mengandung arti bahwa kita telah memilih untuk tunduk dan taat terhadap hukum. Pilihan itu juga berarti bahwa hukum ditempatkan dan dijadikan sebagai aturan main utama dan tertinggi dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara normatif semua warga negara harus berada di garda terdepan dan memikul beban yang sama untuk membangun budaya hukum. Namun, bila dilihat kenyataan, tidak hanya ada di depan kita, melainkan juga di negara lain, bahkan secara konseptual, terasa betul bahwa mimpi-mimpi ini rupanya agak menyesatkan. Sebab faktanya, setiap kelompok dalam lingkungan sosial memiliki nilai, orientasi dan harapan yang berbeda-beda. Karena itu berbeda pula sikap dan perilaku mereka dalam memberikan apresiasi terhadap hukum. Selalu saja ada alasan yang dapat digunakan untuk membenarkan sikap yang mereka pilih.

Dilihat dari sudut sosiologi hukum, seseorang atau sekelompok orang mau tunduk pada hukum, karena merasa beruntung dengan aturan tersebut. Begitu sebaliknya, tatkala mereka merasa tidak memiliki keuntungan apapun dari aturan itu, maka mereka tidak akan mendukung aturan tersebut. Hal semacam ini selalu dapat ditemukan di manapun. Mendukung satu putusan pengadilan, atau sebaliknya mencemoh putusan tersebut juga dapat dikembalikan pada tesis ini. Namun sejauh hal itu hanya merupakan pendapat, tentu harus diterima. Sebaliknya, dalam bentuk apapun sikap yang ditampilkan, anarkis atau tidak, tetap harus dilihat dan diterima sebagai budaya hukum kita.

Cukup sering orang menyebut-nyebut budaya hukum Cina dan Jepang, bahkan Amerika Serikat sebagai contoh budaya hukum yang baik. Cina dibanggakan karena memiliki tradisi Konfusiaisme yang kuat. Jepang selain dipengaruhi budaya konfusiaisme, juga memiliki tradisi kekeluargaan yang bagus. Amerika juga demikian, dianggap bagus karena memiliki tradisi individualisme yang kokoh. Padahal kalau harus diungkap secara apa adanya, akan ditemukan fakta yang cukup telak memukul validitas tesis-tesis tersebut. Bukan hanya dalam film-film, melainkan dalam kajian krimonlogi terungkap jelas bahwa di negara-negara itu juga tumbuh subur kelompok gangster.

Tidak sedikit pelanggaraan hukum berat yang pelakunya tidak tersentuh, karena berada pada strata politik tertinggi, Kalaupun disentuh pasti hanya merupakan sentuhan penuh kompromi. Pembunuhan John F. Kenedy misalnya hingga saat ini tak terungkap dengan terbuka. Kasus Monica Lewinsky dan Paula Johnes juga kabur. Itulah sekelumit wajah budaya hukum Amerika Serikat.

Budaya hukum, bukanlah sesuatu yang mudah digambarkan dan dinilai, apalagi penilaian yang bersifat final. Kenyataan, betapapun paradoksnya, itulah budaya hukum suatu lingkungan sosial. Menghargai atau tidak menghargai hukum, itulah budaya hukum. Karena itu maka membicarakan budaya hukum, mau tidak mau harus berurusan dengan kenyataan yang berkaitan dengan perilaku orang, bukan sesuatu yang ada di langit.

Akan semakin gawat kalau berkembang dalam pikiran orang dan menjadi keyakinan mereka bahwa hukum hanyalah apa yang tertera dalam undang-undang. Sama gawatnya dengan cara pandang tersebut, pandangan bahwa hukum terisolasi dari lingkungan sosial. Kalau sudah demikian halnya, maka akan hancurlah ruh hukum itu. Hilanglah pula sensisitifitas mereka terhadap nilai-nilai, kaidah dan tata krama sosial. Hasilnya adalah kepatuhan terhadap hukum semata-mata menjadi patuh pada teks undang-undang, bukan pada kaidah-kaidah sosial. Padahal ruang sosiallah yang menjadi napas hukum. Tanpa ruang sosial, hukum akan memiliki nilai nominal dan semantik belaka.

Di atas segala-galanya, akan indah dan menggembirakan sekali kalau penyelenggara negara, politisi, tokoh masyarakat berada di garda terdepan memimpin perilaku yang dapat dijadikan teladan dan panutan dalam menghargai, tunduk serta patuh pada hukum. Inilah makna lain dari pasal-pasal Magna Charta 1215, yang dipatrikan kembali 5 abad kemudian di dalam konstitusi Amerika Serikat. Good behaviour, itulah kriteria masa jabatan Hakim Agung di Amerika Serikat. Dapatkah kita seperti itu dalam arti yang seluas-luasnya? Wallahu alam.

Penutup

Dilema dalam pembangunan hukum terletak pada penyelerasan obyeknya itu sendiri, yaitu hukum, dengan makna-makna dalam gagasan dasar UUD 1945. Apa yang dahulu disebut cita hukum, bukanlah suatu harapan yang terbatas pada membangun hukum, melainkan membangun kehidupan yang adil dan beradab. Tetapi maknanya sebagai identitas suatu bangsa, simbol ideal dalam perikehidupan yang beradab dan bermartabat, maka postur substantifnya, selain harus memiliki pijakan konstitusional dan kultural, harus pula menjamin ketersediaan ruang bagi perkembangan -perkembangan baru. Ini berarti hukum yang dibentuk haruslah berwatak progresif.

Mengatur kehidupan dengan mengandalkan hukum – baca undang-undang, bukan hanya mencerminkan inkonsistensi pemahaman atas makna sosial yang melekat dalam hukum, melainkan juga sesat. Gagasan dasar dalam UUD, harus ditafsirkan tidak hanya sebatas makna normatifnya, melainkan juga makna politik dan transformasi sosial, sehingga pembentukan hukum harus diarahkan untuk menghasilkan tatanan hukum yang bermartabat, dan yang mengabdi pada kemuliaan manusia.

Rasanya tidak berlebihan kalau pembangunan hukum diprioritaskan pada dua hal. Pertama, substansi dan aparaturnya. Kedua, budaya hukum atau aspek kulturalnya. Di tangan aparatur hukum yang hebat, baik yang berasal dari departemen maupun para politisi di DPR, ke depan kita dapat merencanakan undang-undang yang berwatak progresif. Undang-undang yang berwatak progresif memerlukan penanganan yang berwatak progresif pula. Aparatur yang berwatak progresif adalah aparatur yang mengenal makna dan hakikat UUD, dan denyut nadi kehidupan nyata. *****

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (6)

Khusus tentang studi banding, menurut saya tidak selalu bersifat urgen dan tepat, tetapi juga tidak selalu keliru. Masalahnya adalah aspek-aspek apa yang mau dibandingkan atau dipelajari? Substansinya atau prosedurnya yang mau dipelajari? Pantas juga untuk dipertimbangkan bahwa netralitas yang oleh kaum positifis dianggap menjadi salah satu ciri hukum modern, kenyataannya tidak selalu demikian. Studi-studi hukum kritis yang mulai bergelora sejak tahun 1960-an, menunjukan bahwa tidak pernah ada hukum yang benar-benar netral. Sistem hukum dimanapun selalu menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melobi para pembentuk UU, agar undang-undang yang sedang dibentuk menguntungkan kelompok mereka.

Jelaslah bahwa substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sangat sulit. Namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncanakan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula diperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan di tingkat global yang semuanya sulit diprediksi.

Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja. Kesetaraan antarlembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia yang meliputi hak-hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji subtansi RUU atau UU yang akan dibentuk. Untuk dapat menguji dengan baik, maka gagasan-gagasan di atas harus dielaborasi lebih dalam.

Sebagai contoh, hak asasi manusia yang diatur dalam UUD. Tidak tepat kalau hak asasi manusia diinterpretasi sesuai dengan faham konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Interpretasi atas hak asasi manusia, haruslah dikaitkan dengan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34, bahkan dengan Pasal 18B ayat (2). Elaborasi atas sebagian dari pasal-pasal ini telah diajukan di muka.

Kaitan antara Pasal 27, 28, 33 dan 34 UUD 1945 (setelah diubah), memunculkan gagasan bahwa ruang pemodal swasta apalagi asing yang sepantasnya harus dibatasi dalam bidang perbankan misalnya, tidak tepat kalau pemodal asing menguasai modal bank dalam jumlah 90%. Semua ekonom sangat faham bahwa bank memainkan peranan yang demikian sentral dalam menentukan kondisi perekonomian nasional. Penguasaan modal oleh pihak asing terhadap bank, akan mengakibatkan perekonomian kita benar-benar berada dalam genggaman mereka. Akan sulit bagi kita untuk membebani misi penataan orde ekonomi yang digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945 kepada mereka. Karena itulah maka undang-undang yang tidak mengatur pembatasan penguasaan modal oleh pihak asing, bagi saya harus dinilai sebagai undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal yang telah disebut di atas.

Sumber daya alam kita misalnya, tidak dapat dieksploitasi semau negara, karena negara diwajiban untuk menjamin lingkungan hidup yang baik bagi setiap individu. Terminologi mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 28H ayat (2) haruslah diartikan bahwa negara diwajibkan untuk menyediakan lingkungan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia. Bila undang-undang ini tidak mengatur parameter-parameter pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.

Terasa ada kesulitan untuk menerima tesis global tentang uang sebagai barang tak bertuan dan berbatas, bahkan tak beridiologi. Kalau bukan karena prinsip liberalisme yang begitu kokoh dan tangguh dianut oleh negara-negara barat, pastilah uang tidak akan berkembang biak dan menjalar kemana-mana menembus batas-batas negara. VOC adalah sebuah korporasi yang menyengsarakan kaum bumi putra di masa lalu. Kekayaan kita dilihat sebagai tambang uang yang tak terkira. Karena itulah maka Twede Chammer Belanda mensyahkan Agrarische Wet pada tahun 1870. Undang-Undang ini membuka pintu masuknya modal swasta Belanda ke Hindia Belanda. Apa yang terjadi kemudian? Tanah-tanah dikuasai oleh mereka dengan seribu satu alasan. Lalu kaum bumi putra? Buruh tani.

Betapapun pentingnya substansi hukum, saya ingin mengajukan satu gagasan agar pembangunan hukum juga difokuskan pada pembangunan aparatur hukum yang tangguh. Kelemahan kunci dalam pembangunan hukum selama ini adalah kurang tangguhnya aparatur hukum. Padahal di tangan aparatur hukumlah wajah hukum itu ditentukan. Di sinilah letak urgensinya pengembangan aparatur hukum yang tangguh.

POLRI sudah bergerak ke arah penyelarasan tampilan dengan klaim UUD 1945. Pemberian sanksi dan promosi sejumlah anggota Polisi pada Desember 2006 tentu menggembirakan. Di sisi lain akan sangat bagus sekali kalau Mahkamah Agung juga mengikuti jejak langkah POLRI. Manis pula kalau Kejaksaan Agung juga melipat-gandakan pengawasannya, diikuti dengan pemberian sanksi dan penghargaan yang baik, sebagaimana sudah ditunjukan secara parsial beberapa bulan yang lalu. Agar hasilnya semakin bagus pada masa yang akan datang, maka selain dibutuhkan blue print yang bagus, dibutuhkan kepemimpinan yang bagus pula. Hanya di tangan kepemimpinan yang kuatlah kita dapat menggantungkan harapan kita.

Sebagai catatan akhir dari bagian ini, ingin dikemukakan sebuah sintesa antara pemikiran yang digariskan di muka dengan substansi hukum. Substansi hukum yang pantas untuk dibangun di masa depan adalah hukum yang berpihak pada martabat manusia dan demokratis, karena itu substansi hukum tidak boleh memiliki potensi menguntungkan satu kelompok tertentu, siapapun dia. Harus pula dicegah terbentuknya substansi hukum yang bersifat koruptif. Inilah tugas bersama yang menyertai kita.

Betapapun sulitnya mengusahakan semua hal yang telah dikemukakan, saya berpendapat bahwa ada harapan untuk memcapai semua itu. Mahkamah Konstitusilah satu-satunya harapan yang patut digantungkan untuk mengontrol substansi hukum yang bersifat korup. Uji konstitusionalitas suatu undang-undang, secara sosiologis dimaksudkan untuk mengoreksi dimensi koruptif dalam undang-undang itu.

Dimensi koruptif dalam setiap undang-undang dapat berupa memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu, dan merugikan kelompok lain. Di situ pulalah ruh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, maka ruh hukum, yakni mengabdi pada harkat dan martabat manusia, bahkan kemuliaan manusia, terkawal melalui mekanisme koreksi yang disediakan dalam sistem hukum pasca amandemen UUD 1945.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (5)

Dua Aspek Penting

1. Substansi Hukum

Pembangunan hukum merupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif. Sebagai satu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya.

Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, DPR berada di jantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasi secara normatif menjadi kaidah hukum. Apa jadinya kalau mereka tidak peduli pada makna-makna yang terkandung dalam UUD 1945. Apa jadinya kalau hasil studi banding mereka, tidak lagi diharmoniskan dengan makna-makna UUD 1945?

Arah pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan.

Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukanlah negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata. Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas.

Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Meminjam konsep Lawrence Friedman, norma hukum adalah aspek subtansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondary rules yang dikonsepkan oleh H. A. L Hart. Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif model Hart, memainkan peranan yang amat menentukan bagi kapasitas hukum positif.

Aparatur dan kultur hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan hukum. Ini berarti pula bahwa pembentukan, tata kelola, tata nilai, orientasi dan mimpi-mimpi orang tentang hukum harus menjadi prioritas utama. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja terlihat ada cacat celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam. Satu di antaranya adalah norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.

Agar hukum memiliki kapasitas yang layak dan tata kelolanya berjalan bagus, maka perlu pula mempertimbangkan penilaian Presiden B.J. Habibie. Presiden B.J. Habibie secara tepat memandang aspek sarana pendukung, termasuk teknologi sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya bagi pembangunan hukum. Pelayanan hukum macam apakah yang akan diberikan kepada pencari keadilan, atau perlindungan hukum macam apakah yang harus diberikan kepada masyarakat di daerah terpencil, bila Polres atau Polsek tidak memiliki kendaraan?

Berkaitan dengan tata kelola hukum, khususnya menyangkut perencanaan substansi hukum, kenyataan menunjukan bahwa Rancangan Undang-Undang sangat sering datang dari setiap Departemen atau Komisi, tergantung departemen mana yang memprakarsai pembentukannya. Semuanya bermuara di DPR. Sesuai dengan kelaziman, memang harus dipercaya bahwa gagasan-gagasan yang tertuang dalam RUU pasti telah melalui tahapan pembahasan internal institusi yang memprakarsainya.

Kenyataan juga menunjukan bahwa pembentukan suatu RUU sangat sering didahului dengan studi banding ke berbagai negara. Kajian terhadap substansi RUU pun selalu melibatkan kalangan ahli, baik hukum maupun non hukum. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang baik dan pantas untuk dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih jauh pada masa-masa yang akan datang. Sebab pada level ini banyak hal dapat dilakukan, misalnya memetakan ketentuan-ketentuan hukum positif, yang, bila tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya disharmoni tatkala RUU akan ditingkatkan menjadi UU.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (4)

Hilangnya watak individualistis dalam rumusan hak asasi manusia yang terdapat pada pasal 28A sampai dengan pasal 28J UUD 1945, sangat terasa bila dihubungkan dengan pasal 27 ayat (2), Pasal 33 dan 34. Penghidupan yang layak bagi kemanusiaan mengandung arti bahwa setiap individu tidak memliki keleluasaan untuk memilih pekerjaan yang disenanginya dengan alasan merupakan hak asasinya.

Pekerjaan yang dipilih dan dilakukan haruslah pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kelayakan pekerjaan harus diukur berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Perbudakan tentu bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Penjualan manusia, juga bukan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itulah, maka negara harus mengambil peran secara aktif untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.

Masuknya negara ke dalam setiap usaha untuk menciptakan keadaan penghidupan yang layak merupakan suatu kewajiban konstitusional. Penyelenggara negara tidak boleh berdiam diri dalam situasi apapun. Inilah yang membedakan konsep konstitusionalisme klasik, yang menempatkan negara sebagai penjaga malam demi kebebasan manusia agar mereka - setiap individu - mengusahakan sendiri kesejahteraannya, tidak lagi berlaku seiring dengan munculnya konsep konstitusionalisme mutakhir yang mulai berkembang sejak pertengahan abad ke 19.

Pasal 33 UUD 1945 mengandung gagasan dasar dan atau kaidah, bahwa keadaan ekonomi tidak boleh dibiarkan berkembang sendiri menurut hukum pasar. Bila Pasal 33 ini diinterpetasi, baik secara gramatikal maupun sistematis, maka gagasan yang terdapat dalam pasal ini adalah tata ekonomi harus diatur oleh negara. Kata-kata perekonomian yang terdapat pada awal kalimat rumusan Pasal 33 ayat (1) mengandung arti bahwa orde ekonomi tidak boleh dibiarkan tercipta sesuai dengan gerak ekonomi itu sendiri. Orde ekonomi harus ditata oleh negara.

Watak orde ekonomi yang harus dikembangkan adalah saling membesarkan atau mengangkat. Watak ini haruslah dipandu dengan prinsip bahwa pengakuan terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum, dan pembangunan. Tujunnya adalah agar sesama individu mengembangkan sikap saling membantu. Di sisi lain pengakuan ini juga mengandung arti bahwa negara tidak boleh mengabaikan sedikitpun hak-hak individu yang telah diakui, untuk dan atas nama kepentingan apapun.

Watak orde ekonomi di atas harus dipelihara dan dikembangkan secara sungguh-sungguh, sehingga memiliki kapasitas dalam mencegah lahirnya fakir miskin. Semangat Pasal 34 UUD 1945 adalah kelompok manusia ini – fakir miskin harus dipelihara oleh negara. Kewajiban ini akan hilang bila tidak ada lagi orang yang berkategori fakir miskin. Karena itu, maka harus diciptakan orde ekonomi, bahkan orde sosial, hukum dan sosial yang memungkinkan semua orang memperoleh kesempatan untuk berkerja secara layak, dan berpendapatan secara layak pula demi mengangkat harkat dan martabatnya.

Semangat konstitusionalisme mutakhir juga tercermin pada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan negara untuk mengembangkan suatu sistem jaminan sosial. Sistem ini telah lama berkembang di Inggris, Perancis dan Jerman, sekurang-kurangnya setelah perang dunia kedua. Padahal dari Inggris dan Perancis lah lahir konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Karena teks Pasal 34 ayat (3) menggunakan kata “Sistem” maka penyelenggara negara diwajibkan untuk membangun tatanan jaminan sosial itu. Penyelenggara negara pun diwajibkan untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum lainnya. Kewajiban ini digariskan secara jelas dan tegas dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 (setelah diubah).

Dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) maka watak modernitas konstitusonalisme Indonesia pasca amandemen UUD 1945, memesankan terbentuknya tatanan hukum yang memungkinkan tumbuhnya pluralitas hukum, bukan tatanan hukum yang monolitik dan sentralistik, sebagaimana dipraktikan pada masa lalu.

Dalam tata hukum yang berwatak pluralitas itu, dimungkinkan hukum adat, agama, dan praktik-praktik penyelesaian konflik yang telah terlembagakan dalam setiap lingkungan sosial, tetap eksis dan menginspirasi pembangunan hukum. Hukum dalam arti itu, tidak hanya terbatas pada apa yang dilahirkan dan dibentuk oleh negara, melainkan mencakup apa yang diyakini dan eksis di dalam kehidupan masyarakat. ***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (3)

Distribusi kekuasaan secara horizontal dilakukan secara tumpang tindih itu, ditandai dengan Presiden memperoleh sedikit kekuasaan legislatif. Kongres juga demikian, diberikan sedikit kekuasaan eksekutif. Mahkamah Agung juga demikian, diberi sedikit kewenangan untuk ikut serta masuk dalam permainan dua cabang kekuasaan. Presiden diberi kewenangan untuk mengangkat duta, pejabat-pejabat tertentu, tetapi harus dikonfirmasi, bahkan ada yang memerlukan persetujuan dari Senat. Senat dengan demikian memiliki sedikit kewenangan yang sesungguhnya merupakan kewenangan eksekutif. Presiden memiliki kewenangan untuk memberi pengampunan, tetapi Mahkamah Agung juga diberikan sedikit kewenangan dalam soal ini. Bentuknya adalah memberi pertimbangan tertulis. Kongres, khususnya House of Representative diberikan kekuasaan melaksanakan kekuasaan legislatif, tetapi Presiden diberi sedikit kewenangan, veto.

Hubungan antara pemerintah Federal dengan negara-negara bagian adalah hubungan hukum. Bentuk hubungannya adalah hubungan keuangan dan kewenangan. Bentuk hubungan ini berbasis pada cara pandang bahwa area kekuasaan berada di daerah atau di negara bagian. Tesis ini merupakan abstraksi dari kenyataan sebelum kemerdekaan bahwa negara-negara bagian merupakan daerah-daerah yang bersifat otonom. Sejak kolonialisme Inggris daerah-daerah telah terbiasa mengurus dirinya sendiri secara mandiri, dan tidak tunduk pada satu pemerintahan pusat, kecuali pemerintah jajahan. Kenyataan tentang kemandiriannya ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa para perumus UUD membentuk lembaga Senat yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan wilayah.

Sedikit memiliki kemiripan dengan Indonesia, latar belakang sosiologis pembentukan UUD Amerika diwarnai dengan ketidak-adilan pemerintahan jajahan. Para perumus UUD mereka mengenal betul akibat buruk yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan pemerintahan jajahan. Inilah yang mengilhami, sekaligus menyadarkan mereka untuk merancang bentuk pemerintahan dan distribusi kekuasaan yang masih berlaku hingga saat ini.

UUD 1945 (setelah diubah) cukup tegas mematrikan hal yang memiliki kemiripan relatif dengan jalan pikiran pembentuk UUD Amerika Serikat, sekurang-kurangnya dengan UUD lain, misalnya Philipina. Padahal pada tahun 1945 dalam sidang PPKI hal-hal ini ditolak oleh para pembentuk UUD, karena dianggap bersifat liberal. Liberalisme dianggap merupakan anak kandung individualisme, dan keduanya merupakan ibu kandung dari imprialisme yang menyengsarakan rakyat bumi putra selama berabad-abad lamanya.

Diadopsinya sebagian besar pemikiran yang pernah ditolak pada masa lalu tidaklah berarti bahwa gagasan dasar UUD 11945 (setelah diubah) adalah individualistis. Menurut saya gagasan dasar UUD 1945 ini adalah kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat merupakan ciri konstitusionalisme mutakhir, sekaligus menjadi fundasi etik dari seluruh pembentukan negara modern. Kalau ada yang mengatakan bahwa UUD 1945 (setelah diubah) berwatak liberal, karena adanya pengakuan terhadap hak-hak individu, menurut saya watak individualistis terkikis oleh pengakuan terhadap hak individu di bidang sosial, ekonomi, hukum dan pembangunan.

Dilihat dari sudut ini, maka menurut saya formulasi hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, benar-benar jauh dari watak hak asasi yang bersifat individualistis.***

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (2)

UUD sebagai hukum tertinggi dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi, sekaligus kerangka dasar pengorganisasian kekuasaan negara dan pembangunan. Menyandang fungsi sebagai kerangka dasar pengorganisasian kekuasaan dan pembangunan, UUD di negara manapun selalu berisi garis-garis besar yang bersifat fundamental tentang haluan pembangunan bangsa dan negara yang harus ditempuh.

Sesuai sifatnya, sistem hukum selalu ditandai dengan adanya sub-sistem hukum. Tanpa subsistem hukum, tidak akan ada sistem hukum. Tanpa UUD sebagai titik tolaknya, maka sistem hukum tidak akan memiliki arah dan kapasitas. Subsistem hukum merupakan sesuatu yang terus-menerus berproses, berbanding lurus dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi masyarakat, sehingga terlalu riskan membiarkannya berproses sendiri. Karena itulah, maka negara melalui organ-organnya harus masuk dan merekayasanya, agar menghasilkan suatu orde hukum yang sehat.

Gagasan-gagasan baru yang terdapat dalam UUD 1945, khususnya pembatasan kekuasaan Presiden, penghapusan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan pengaturan mengenai hak asasi manusia, pelembagaan gagasan judicial review serta pergeseran konsep pemerintahan daerah, yang di dalamnya menegaskan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, menurut saya hal itu menandai paradigma UUD 1945. Paradigmanya adalah konstitusionalisme modern, yang berbeda dengan konstitusionalisme klasik yang hanya menekankan hak-hak individu dibidang politik.

Sejarah konstitusionalisme menunjukan bahwa pengakuan terhadap hak individu menjadi titik tolak pertumbuhan awal konstitusionalisme – klasik untuk merestorasi kekuasaan absolut. Inilah ciri konstitusionalisme awal atau abad 13. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pertengahan abad ke 17 ciri ini mengalami perluasan, meliputi pengorganisasian kekuasaan. Konsep kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan federatif versi John Locke, yang selanjutnya dikembangkan oleh Montesqieu harus dilihat dalam konteks ini.

Konsep Montesqieu untuk pertama kalinya diterapkan secara luwes dalam UUD Amerika Serikat. Inilah periode paling kongkrit dalam pertumbuhan konstitusionalisme modern, karena prinsip-prinsipnya dilembagakan secara tegas dalam UUD. Thomas Jefferson, John Jay, Alexander Hamilton, dan beberapa perumus UUD Amerika Serikat lainnya berjasa dalam hal ini. Check and Balances yang untuk pertama kalinya pula dikembangkan di Amerika Serikat, merupakan elaborasi gemilang para perumus UUD mereka. Tujuan intinya adalah untuk dan demi mengontrol penggunaan kekuasaan, agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan dinilai sebagai pangkal rusaknya keadilan. Inilah tesis dasar Montesqieu dalam teori yang terkenal itu.

Bertolak dari tesis Check and Balances, mereka merumuskan kedudukan dan wewenang dari ketiga cabang kekuasaan secara tumpang tindih. Esensinya adalah mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Bila dirumuskan secara terbalik, maka hubungan antarcabang kekuasaan di Amerika Serikat hingga saat ini dianggap rumit dan tumpang tindih itu, adalah cara untuk menjamin hak individu. Bentuk Negara Serikat juga dianggap sebagai cara terbaik dalam memelihara eksistensi hak-hak individu. Rumusan hubungan antarkekuasaan seperti inilah yang dianggap ideal, karena tidak memungkinkan satu lembaga pun berkedudukan lebih tinggi dari lembaga lainnya. Semua lembaga negara berkedudukan sejajar.***

Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945 (1)

Margarito Kamis
Doktor dalam Ilmu Hukum, bidang Hukum Tata Negara dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Pendahuluan
Reformasi, di manapun selalu diawali dengan merombak tatanan hukum lama yang tidak adil atau diskriminatif. Itulah yang dilakukan di seluruh negara, yang diawali dari Inggris pada 1688, Amerika 1787, dan Perancis 1789. Di manapun reformasi juga selalu menyisakan sekelumit paradoks. Karena itu, apa yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1998 dan 1999 mencerminkan bahwa mereka mengetahui benar hakikat reformasi. Mereka mulai dengan menata kebobrokan tatanan masa lalu dari jantungnya hukum.

Itulah yang dituangkan ke dalam ketetapan-ketetapan mereka. Terdapat lima ketetapan yang dapat diklasifikasi sebagai ketetapan yang mengagumkan pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 1998. Pertama, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Keempat, Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politiik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kelima, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Setahun setelah itu, MPR hasil pemilu 1999 berketetapan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ini memiliki nilai dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan bangsa dan negara. Mengapa? UUD 1945 (sebelum diubah), jelas tidak menyediakan kerangka konstitusional yang diperlukan bagi pengembangan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemerintahan yang berwatak adil, beradab dan bermartabat.

Memahami semua yang dilakukan oleh MPR pada dua periode tersebut dari sudut paham konstitusionalisme mutakhir, terdapat dua hal yang tidak dapat diabaikan oleh semua pihak. Pertama, semua produk MPR tersebut merupakan respon kritis atas tatanan pemerintahan otoriter yang merupakan produk langsung dari rapuhnya tatanan konstitusional sebelum tahun 1998.

Kedua, baik ketetapan-ketetapan maupun perubahan UUD 1945 selain merupakan respon normatif atas situasi yang menyertainya, juga transformatif. Mereka – para anggota MPR dapat disebut sebagai peletak dasar kedua setelah yang pertama pada tahun 1945, dalam menciptakan tatanan dasar yang beradab-bermartabat, adil serta menjangkau ke depan. Tujuan dasarnya adalah untuk meletakan dasar-dasar kehidupan yang baik dalam perspektif transformatif, sekaligus menghentikan siklus pemerintahan yang tidak kokoh di masa lalu.***