Wednesday, October 10, 2007

Maluku Utara, Sebuah Kenangan Sejarah

RAKYAT Maluku Utara pantas berbangga, karena pemerintah telah mematrikan sebagian pemandangan dan panorama alam yang indah dari wilayah itu pada salah satu dari dua sisi pecahan uang kertas seribu rupiah seri terbaru. Jika pada sisi sebelah terpampang gagah berani gambar pahlawan nasional asal Maluku: Kapitan Patimura, maka di sisi lainnya tampak gambar Pulau Maitara dan Tidore serta sebagian Laut Maluku yang indah tenang tetapi menyimpan kekayaan beragam jenis ikan.

Jika ditelusuri, sebetulnya lembaran uang seribu rupiah seri terbaru ini sedang bercerita panjang lebar tentang wilayah Maluku, termasuk Maluku Utara. Dipatrikannya keindahan alam Maluku Utara dalam lembaran seribu rupiah amat membanggakan, sebab peluang sebuah obyek atau daerah untuk tampil dan selalu dilihat orang-seperti halnya gambar Maluku Utara di atas lembaran rupiah-amat jarang terjadi.

Kalaupun tersedia kesempatan bagi daerah lain tampil seperti Maluku Utara di pecahan mata uang, tentu harus menunggu puluhan atau mungkin ratusan tahun ke depan. Itu pun harus lolos beragam seleksi ketat. Keputusan manajemen Bank Indonesia untuk mematrikan Maluku Utara ke dalam seri pecahan seribu rupiah terbaru dinilai sangat pas.

Provinsi Maluku dan Maluku Utara, menurut catatan sejarah, memang sarat menyimpan cerita-cerita kepahlawanan melawan penjajahan Belanda serta imperialisme Eropa. Mutu rempah-rempah asal daerah ini sangat tersohor ke seluruh dunia. Belakangan, tampilnya kekayaan laut di arena pasar internasional ternyata telah membuat kedua daerah-yang baru saja dilanda perang saudara-itu menjadi incaran para pengusaha
asing dan domestik.

***

LIHAT saja ribuan dan mungkin puluhan ribu kapal penangkap ikan milik asing dan domestik, ataupun asing yang berbaju domestik, yang berkeliaran di Laut Maluku. Atau lihat pada fakta hadirnya puluhan perusahaan nasional dan asing yang sudah dan sedang berupaya menanamkan kuku-kukunya di Maluku dan Maluku Utara.

Momentum pembangunan ini memang sempat melemah menyusul pecahnya perang saudara, konflik horizontal yang amat dahsyat dan telah mengakibatkan 2.364 warga tewas, 1.769 luka berat/ringan serta 2.315 warga lari dan hilang di hutan-hutan, selain belasan ribu rumah dan fasilitas umum musnah terbakar. Belum lagi korban harta benda lain serta anjloknya nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang sulit diukur dan dikalkulasi secara matematika.

Pendek kata, perang saudara yang sudah dan sedang berakhir itu telah menyentak warga Maluku, khususnya Maluku Utara untuk bangkit kembali dari keterlenaan perang, maut dan kematian, kesengsaraan, kebencian, serta kebodohan.

Warga Maluku Utara kembali diingatkan bahwa ternyata Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara). Kalau begitu, kata para warga Ternate, Ibu Kota Maluku Utara, buat apa berperang yang kemudian berakibat sangat parah terhadap generasi baru, generasi anak cucu yang pada akhirnya harus memikul beban sangat berat, yakni dilanda kebodohan, kemiskinan, serta kemelaratan dan ketertinggalan.

***

SEMANGAT atau roh persaudaraan dan perdamaian yang hilang kini kembali mulai bersemi di Maluku Utara. Di mana-mana warga bertutur tentang mubazirnya perang. Arena perang ternyata cuma melahirkan saling membunuh, saling menghabisi, dan menanamkan kebencian yang sangat dalam.

"Memang di sana-sini masih ada persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Tetapi, secara keseluruhan rakyat di mana-mana bertutur tentang betapa hidup dalam damai jauh lebih menyenangkan dan oleh karena itu harus dikembalikan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Maluku Utara SH Sarundajang, yang juga Inspektur Jenderal Depdagri kepada Kompas, pekan lalu di Ternate, Ibu Kota Maluku Utara.

MENENGOK Maluku Utara, tidak lengkap jika tidak mengungkap sejarah masa lampaunya yang kaya dengan beragam cerita kepahlawanan, khususnya empat Kesultanan yang menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat di wilayah itu.

Menurut catatan sejarah, Maluku Utara pada awalnya digambarkan sebagai gugusan pulau-pulau mini yang kemudian diberi nama Maluku atau pulau kembar, Ternate dan Tidore. Kedua pulau itu mulai ramai dibicarakan sejak abad XV, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kepulauan Maluku.

***

SEJAK abad XV, saudagar-saudagar Eropa (Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis), Arab, India, Cina, dan Persia secara rutin mampir ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah, khususnya cengkeh dan pala. Sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbesar di dunia kala itu, Ternate dan Tidore menjadi tujuan utama para saudagar yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia, terutama saudagar Eropa dan Arab, serta Cina.

Dari sekadar berdagang, selanjutnya muncul keinginan kuat dari para utusan dagang negara-negara asing untuk menguasai Tidore dan Ternate. Bagi mereka, menguasai Maluku (Tidore dan Ternate) sama dengan menguasai produksi rempah-rempah dunia. Karena itulah kemudian terjadi persaingan sangat ketat dari berbagai kekuasaan asing untuk menguasai atau minimal memperebutkan pengaruh di negeri itu.

Negeri ini juga dikenal dengan sebutan Moluku Kie Raha (empat gugusan pulau/gunung), sebutan untuk empat Kesultanan di wilayah itu: Tidore, Bacan, Jailolo, dan Ternate. Secara harafiah, Moluku Kie Raha berarti gugusan empat pulau bergunung. Istilah itu seperti dikutip dari buku Profil Maluku Utara didasarkan pada eksistensi empat kesultanan yang berpusat di empat kaki gunung yang hingga kini masih eksis.

Dituturkan, empat kesultanan itu bersaudara kandung hasil perkawinan Djafar Sadik dan Boki Nursaefah. Di dalam menjalankan pemerintahan, masing-masing kesultanan dibantu beberapa Bobato (pembantu sultan) yang terbagi dua, Bobato Dunia dan Bobato Akhirat.

Keempat kesultanan itu, menurut laporan sejarah, mendominasi perjalanan sejarah Maluku, termasuk mampu membangun hubungan dengan berbagai kerajaan lain di Indonesia maupun Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Pada bulan Desember 1511, M de Albuquerque, wakil negara Portugis yang berkedudukan di Malaka untuk pertama kali mengirimkan ekspedisi tiga kapal menuju Maluku.

Ekspedisi yang dipimpin Antonio de Abreu dan Fransesco Serrao tiba di Ternate pada tahun 1512 yang kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi Portugis kedua pada tahun 1513. Ekspedisi kedua itulah yang diterima oleh Sultan Ternate dan sekaligus menjadi awal dimulainya Maluku memainkan politik serta diplomasi internasional. Selanjutnya, pada tahun 1521, bangsa Spanyol tiba dengan Kapal Victoria dan Trinidad di Tidore.

Namun, dalam tahun 1522, Portugis yang dipimpin Antonio de Brito berhasil mengusir Spanyol. Setelah Spanyol meninggalkan Tidore, de Brito menuju Ternate dan selanjutnya diangkat sebagai gubernur pertama untuk Maluku. Dengan Kesultanan Ternate, Portugis berhasil membangun perjanjian yang berisi, pertama, Portugis dibolehkan mendirikan benteng di Pantai Gamlango Ternate. Kedua, Portugis diizinkan berdagang dan mendirikan gudang di Ternate. Dan ketiga, semua rempah-rempah hanya boleh dijual ke Portugis dengan harga per bahar cengkeh (sekitar 600 pon) sekitar 32 ringgit.

Pada tahun 1523, terjadi perlawanan pertama dari Sultan Ternate dan Tidore yang menentang monopoli perdagangan cengkeh. Sultan Tidore Al Mansor dan Permaisuri Sultan Ternate Nyai Cili Boki Raja memimpin langsung perlawanan habis-habisan terhadap kelicikan Portugis dengan kebijakan monopoli dagangnya itu.

Perlawanan serupa juga dilakukan habis-habisan terhadap Spanyol, Inggris, dan Belanda, karena ternyata kehadiran bangsa-bangsa asing itu sama dengan misi yang dibawa Portugis. Mereka semua ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di Maluku. Cerita kepahlawanan yang nyata berpihak kepada rakyat, terus berlangsung dalam sejarah Indonesia.

***

UPAYA pembentukan Maluku Utara sebagai provinsi sendiri sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1957, seiring dengan upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia dari genggaman Belanda. Lewat Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1956, Soa Siu (Tidore) ditetapkan sebagai ibu kota sementara Provinsi Irian Barat.

Perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara kembali digaungkan pada tahun 1963 oleh para pemimpin politik di wilayah itu, seperti PSII, Partindo, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, dan Parkindo. Perjuangan ini kembali kandas dan melemah setelah memasuki tahun 1965 serta selama era Orde Baru.

Memasuki era reformasi, barulah perjuangan rakyat dan kaum politisi untuk membentuk Provinsi Maluku Utara memperoleh sambutan DPR dan Departemen Dalam Negeri. Maluku Utara resmi menjadi provinsi otonom lewat terbitnya UU No 46/1999, tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi ini terdiri atas tiga wilayah kabupaten dan kota, masing-masing Kabupaten Maluku Utara, Halmahera Tengah, dan Kota Ternate.

"Inti pembentukan Provinsi Maluku Utara selain sebagai wujud dari keinginan untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Juga tidak kalah penting, institusi Provinsi Maluku Utara adalah bagian dari obsesi rakyat Maluku Utara untuk menampilkan diri bahwa rakyat Maluku Utara juga dapat berbuat bagi rakyatnya dan bagi RI, seperti sudah dibuktikan lewat sejarah masa lalu rakyat daerah ini yang mampu berperang habis-habisan melawan kolonialisme dan imperialisme Eropa," ujar Abdul Kahar Taslim SE, Ketua Bappeda Maluku Utara kepada Kompas di Ternate.

Beberapa tokoh Maluku Utara mengatakan, pecahnya perang saudara telah membuat wilayah yang potensial-dengan luas daratan 33.278 kilometer persegi serta dikelilingi laut seluas 106.977 kilometer persegi-menjadi terpuruk. Upaya percepatan pembangunan lewat institusi provinsi yang terdiri atas 395 pulau besar kecil ini pun mandek. Pejabat gubernur yang ditugasi mempersiapkan organisasi pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Waktu yang tersedia akhirnya tersedot hanya pada upaya-upaya meredam konflik dan perang, serta belakangan dipusingkan dengan persoalan pemulangan pengungsi yang mencapai angka sekitar 250.000 orang. (Freddy Roeroe/Muhammad Bakir/kompas)

2 comments:

M. Sofyan Daud said...

Artikel ini belum mengupas habis peran perjuangan rakyat Maluku Utara man. pertengahan tahun 1960-an, perjuangan menuntut provinsi Maluku Utara dengan 'menyogok' pemerintah pusat dengan kopra DAKOMIB sebanyak 1000 ton, juga ada peran pimpinan PKI di Ternate. itu saja Ade

The Island of NAMOYAKI, said...

Salam bro,

Terus layari ke sini,

http://sejarahnagarakedah.blogspot.com/

pasti kau akan berjumpa sesuatu, insyaAllah...