Wednesday, October 10, 2007

Ternate dan Sejarah Syiah (1)

Disepakati bahwa proses Islamisasi di Nusantara berlangsung seiring dengan kegiatan dagang, antara berbagai komunitas yang mendiami pulau-pulau di Indonesia dengan orang Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Ini telah berlangsung sejak berabad-abad lalu.


Prof L.W.C. van den Berg menyatakan, kepulauan Indonesia telah didatangi orang Arab dari Teluk Persia dan Laut Merah sebelum zaman Islam. Tapi Nusantara baru mencapai puncak keramaian pada zaman Kerajaan Bani Abbas (sekitar 800-1300 M). Jalur perdagangan yang ditempuh waktu itu adalah Teluk Persia, Cina , dan Indonesia.

G.R. Tibbets mengatakan, pada abad VIII dan IX terdapat laporan pedagang Arab Muslim yang menunjukkan adanya rute pelayaran yang pasti melalui pelabuhan laut Asia Tenggara, terus bersambung hingga ke negeri Cina. Seorang ahli sejarah Muslim mencatat bahwa hubungan timbal balik antara orang Cina dan Arab paling awal terjadi pada abad ke-5.

Prof. Wan Hussein Azmi, guru besar Universitas Kebangsaan Malaysia, mengatakan sekitar abad VII, saudagar Arab hilir mudik berniaga di Jazirah Nusantara. Ia menegaskan Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-1 Hijrah, langsung dari tanah Arab.

Barang-barang Indonesia seperti emas, lada, kapas, madu, rotan, serta kayu cendana, dibeli para pedagang Muslim untuk dijual di pasar Timur Tengah, Laut Tengah, dan Cina. Memang pada abad ke-15, jaringan perdagangan Asia, dengan Malaka sebagai pusat, merupakan kawasan perdagangan yang canggih dan luas.

Tapi Malaka tak cuma berperan sebagai sentra perdagangan Asia. Tapi juga dianggap sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dari sini kemudian Islam menyebar ke daerah utara, pantai timur hingga selatan Pulau Sumatera, terus ke pesisir utara Pulau Jawa dan Kalimantan.

Maluku atau spice islands, dengan Ternate sebagai sentrum, baru menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Malaka pada abad ke-15.(7) Cengkeh dan pala merupakan komoditas yang diincar para pedagang Jawa, Melayu, Arab, Cina, dan Persia untuk dijual di pasar Malaka, Jawa, atau dilego langsung ke pasar Timur Tengah dan Laut Tengah.

Fenomena ini kemudian menimbulkan spekulasi para sejarawan bahwa Islam mulai masuk ke Ternate pada abad ke-15, saat kejayaan Malaka mencapai puncaknya.

Antonio Galvao (1536-1539), kapten benteng Portugis di Ternate, mencatat bahwa Ternate memeluk Islam yang disebarkan dari Malaka pada 1460, mengingat terdapat jalur perdagangan melalui utara, yaitu jalur Ternate-Sulawesi Utara-Sulu-Brunei-Malaka. Di sini Galvao memperoleh keterangan langsung dari masyarakat Ternate sendiri.

Rijali, pencatat peristiwa pada awal zaman Maluku yang hidup di Ambon pada awal abad ke-17, menyusun sebuah dokumen dalam bahasa Arab berdasarkan kisah-kisah tradisional. Pada mulanya (sekitar abad ke-13), demikian Rijali. Ternate dihuni orang-orang dari Jailolo (Halmahera Utara). Selama 250 tahun berikutnya, masih menurut Rijali, suku Molematiti di Ternate, dan dinasti dari 20 penguasa berikutnya, memimpin transformasi bertahap penduduk Ternate dari manusia kafir tak beradab menjadi pengikut Nabi Muhammad saw.

Kemajuan besar pertama terjadi pada masa kekuasaaan Raja Gapi Baguna (1432-1465), yang mengundang saudagar Cina, Arab, dan Jawa untuk menetap di Ternate dan memanfaatkan pengetahuan serta keterampilan mereka yang unggul. Ia lalu terpesona oleh seorang saudagar Muslim dari Jawa, Maulana Husein, yang kemudian membimbingnya bersama pejabat Istana lain, masuk Islam.

Menurut Cesar Adib Majul, Islam masuk ke Ternate pada tahun 1478, yakni berbarengan dengan jatuhnya kerajaan Majapahit. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Islam dibawa para muballigh dari Jawa. Dari keterangan di atas terlihat ada perbedaan pendapat mengenai asal usul masuknya Islam ke Ternate.

Galvao mengatakan, Islam yang masuk ke sana berasal dari Malaka. Sementara Rijali dan Cesar berpendapat dari Jawa. Namun periode masuknya kurang lebih sama, yaitu paroh pertama abad VX.

Namun, Naidah dalam sejarah Ternate-nya menyatakan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah Ja'far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643 H/1250M. Ja'far Shadiq yang nasabnya dihubungkan dengan Imam Ali bin Abi Thalib, kawin dengan putri setempat bernama Nur Sifa.

Sebelumnya, Ja'far Shadiq pernah kawin di Jawa dan memperoleh 10 anak. Dari perkawinan dengan Nur Sifa, ia memperoleh empat putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, di tetapkan sebagai raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat Ternate yang suka berperang itu. Raja pertama ini memerintah sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan Jailolo.

Laporan Naidah ini terbilang menarik lantaran ia mempresentasikan Ja'far Shadiq, Muharram, dan Ali bin Ali Thalib, yang kesemuanya merupakan bagian dari wacana Syi'ah. Namun ini pun harus di pandang secara kritis berdasarkan kenyataan berikut.

Pertama
, laporannya tidak bersumber dari bahan tertulis atau didukung hipotesis yang logis. Kedua, ia bekerja sebagai pejabat istana Ternate, yang dengan sendirinya, menjaga kepentingan kerajaan. Sebagaimana diketahui, persaingan memperebutkan hegemoni di antara empat kerajaan di Maluku itu melibatkan pula agama dan Ahl al Bait. Kedua unsur ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik di Maluku, bahkan juga di kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara seperti Aceh, Jawa, dan
Kalimantan.

Dalam hal ini, klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahl al Bait menjadi sumber legitimasi tersebut. Toh, Tidore, Bacan, dan Jailolo juga mengklaim sebagai pihak yang paling duluan masuk Islam serta menghadirkan tokoh keturunan Nabi Muhammad. (dari google.co.id)

No comments: