Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (6)

Khusus tentang studi banding, menurut saya tidak selalu bersifat urgen dan tepat, tetapi juga tidak selalu keliru. Masalahnya adalah aspek-aspek apa yang mau dibandingkan atau dipelajari? Substansinya atau prosedurnya yang mau dipelajari? Pantas juga untuk dipertimbangkan bahwa netralitas yang oleh kaum positifis dianggap menjadi salah satu ciri hukum modern, kenyataannya tidak selalu demikian. Studi-studi hukum kritis yang mulai bergelora sejak tahun 1960-an, menunjukan bahwa tidak pernah ada hukum yang benar-benar netral. Sistem hukum dimanapun selalu menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melobi para pembentuk UU, agar undang-undang yang sedang dibentuk menguntungkan kelompok mereka.

Jelaslah bahwa substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sangat sulit. Namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncanakan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula diperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan di tingkat global yang semuanya sulit diprediksi.

Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja. Kesetaraan antarlembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia yang meliputi hak-hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji subtansi RUU atau UU yang akan dibentuk. Untuk dapat menguji dengan baik, maka gagasan-gagasan di atas harus dielaborasi lebih dalam.

Sebagai contoh, hak asasi manusia yang diatur dalam UUD. Tidak tepat kalau hak asasi manusia diinterpretasi sesuai dengan faham konstitusionalisme klasik yang menekankan pada hak-hak individu di bidang politik. Interpretasi atas hak asasi manusia, haruslah dikaitkan dengan Pasal-pasal 27, 31, 33 dan 34, bahkan dengan Pasal 18B ayat (2). Elaborasi atas sebagian dari pasal-pasal ini telah diajukan di muka.

Kaitan antara Pasal 27, 28, 33 dan 34 UUD 1945 (setelah diubah), memunculkan gagasan bahwa ruang pemodal swasta apalagi asing yang sepantasnya harus dibatasi dalam bidang perbankan misalnya, tidak tepat kalau pemodal asing menguasai modal bank dalam jumlah 90%. Semua ekonom sangat faham bahwa bank memainkan peranan yang demikian sentral dalam menentukan kondisi perekonomian nasional. Penguasaan modal oleh pihak asing terhadap bank, akan mengakibatkan perekonomian kita benar-benar berada dalam genggaman mereka. Akan sulit bagi kita untuk membebani misi penataan orde ekonomi yang digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945 kepada mereka. Karena itulah maka undang-undang yang tidak mengatur pembatasan penguasaan modal oleh pihak asing, bagi saya harus dinilai sebagai undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal yang telah disebut di atas.

Sumber daya alam kita misalnya, tidak dapat dieksploitasi semau negara, karena negara diwajiban untuk menjamin lingkungan hidup yang baik bagi setiap individu. Terminologi mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 28H ayat (2) haruslah diartikan bahwa negara diwajibkan untuk menyediakan lingkungan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia. Bila undang-undang ini tidak mengatur parameter-parameter pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.

Terasa ada kesulitan untuk menerima tesis global tentang uang sebagai barang tak bertuan dan berbatas, bahkan tak beridiologi. Kalau bukan karena prinsip liberalisme yang begitu kokoh dan tangguh dianut oleh negara-negara barat, pastilah uang tidak akan berkembang biak dan menjalar kemana-mana menembus batas-batas negara. VOC adalah sebuah korporasi yang menyengsarakan kaum bumi putra di masa lalu. Kekayaan kita dilihat sebagai tambang uang yang tak terkira. Karena itulah maka Twede Chammer Belanda mensyahkan Agrarische Wet pada tahun 1870. Undang-Undang ini membuka pintu masuknya modal swasta Belanda ke Hindia Belanda. Apa yang terjadi kemudian? Tanah-tanah dikuasai oleh mereka dengan seribu satu alasan. Lalu kaum bumi putra? Buruh tani.

Betapapun pentingnya substansi hukum, saya ingin mengajukan satu gagasan agar pembangunan hukum juga difokuskan pada pembangunan aparatur hukum yang tangguh. Kelemahan kunci dalam pembangunan hukum selama ini adalah kurang tangguhnya aparatur hukum. Padahal di tangan aparatur hukumlah wajah hukum itu ditentukan. Di sinilah letak urgensinya pengembangan aparatur hukum yang tangguh.

POLRI sudah bergerak ke arah penyelarasan tampilan dengan klaim UUD 1945. Pemberian sanksi dan promosi sejumlah anggota Polisi pada Desember 2006 tentu menggembirakan. Di sisi lain akan sangat bagus sekali kalau Mahkamah Agung juga mengikuti jejak langkah POLRI. Manis pula kalau Kejaksaan Agung juga melipat-gandakan pengawasannya, diikuti dengan pemberian sanksi dan penghargaan yang baik, sebagaimana sudah ditunjukan secara parsial beberapa bulan yang lalu. Agar hasilnya semakin bagus pada masa yang akan datang, maka selain dibutuhkan blue print yang bagus, dibutuhkan kepemimpinan yang bagus pula. Hanya di tangan kepemimpinan yang kuatlah kita dapat menggantungkan harapan kita.

Sebagai catatan akhir dari bagian ini, ingin dikemukakan sebuah sintesa antara pemikiran yang digariskan di muka dengan substansi hukum. Substansi hukum yang pantas untuk dibangun di masa depan adalah hukum yang berpihak pada martabat manusia dan demokratis, karena itu substansi hukum tidak boleh memiliki potensi menguntungkan satu kelompok tertentu, siapapun dia. Harus pula dicegah terbentuknya substansi hukum yang bersifat koruptif. Inilah tugas bersama yang menyertai kita.

Betapapun sulitnya mengusahakan semua hal yang telah dikemukakan, saya berpendapat bahwa ada harapan untuk memcapai semua itu. Mahkamah Konstitusilah satu-satunya harapan yang patut digantungkan untuk mengontrol substansi hukum yang bersifat korup. Uji konstitusionalitas suatu undang-undang, secara sosiologis dimaksudkan untuk mengoreksi dimensi koruptif dalam undang-undang itu.

Dimensi koruptif dalam setiap undang-undang dapat berupa memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu, dan merugikan kelompok lain. Di situ pulalah ruh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, maka ruh hukum, yakni mengabdi pada harkat dan martabat manusia, bahkan kemuliaan manusia, terkawal melalui mekanisme koreksi yang disediakan dalam sistem hukum pasca amandemen UUD 1945.***

No comments: