Thursday, October 25, 2007

Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945 (1)

Margarito Kamis
Doktor dalam Ilmu Hukum, bidang Hukum Tata Negara dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Pendahuluan
Reformasi, di manapun selalu diawali dengan merombak tatanan hukum lama yang tidak adil atau diskriminatif. Itulah yang dilakukan di seluruh negara, yang diawali dari Inggris pada 1688, Amerika 1787, dan Perancis 1789. Di manapun reformasi juga selalu menyisakan sekelumit paradoks. Karena itu, apa yang dilakukan oleh MPR pada tahun 1998 dan 1999 mencerminkan bahwa mereka mengetahui benar hakikat reformasi. Mereka mulai dengan menata kebobrokan tatanan masa lalu dari jantungnya hukum.

Itulah yang dituangkan ke dalam ketetapan-ketetapan mereka. Terdapat lima ketetapan yang dapat diklasifikasi sebagai ketetapan yang mengagumkan pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 1998. Pertama, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Indonesia. Keempat, Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politiik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kelima, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Setahun setelah itu, MPR hasil pemilu 1999 berketetapan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ini memiliki nilai dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan bangsa dan negara. Mengapa? UUD 1945 (sebelum diubah), jelas tidak menyediakan kerangka konstitusional yang diperlukan bagi pengembangan tatanan sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemerintahan yang berwatak adil, beradab dan bermartabat.

Memahami semua yang dilakukan oleh MPR pada dua periode tersebut dari sudut paham konstitusionalisme mutakhir, terdapat dua hal yang tidak dapat diabaikan oleh semua pihak. Pertama, semua produk MPR tersebut merupakan respon kritis atas tatanan pemerintahan otoriter yang merupakan produk langsung dari rapuhnya tatanan konstitusional sebelum tahun 1998.

Kedua, baik ketetapan-ketetapan maupun perubahan UUD 1945 selain merupakan respon normatif atas situasi yang menyertainya, juga transformatif. Mereka – para anggota MPR dapat disebut sebagai peletak dasar kedua setelah yang pertama pada tahun 1945, dalam menciptakan tatanan dasar yang beradab-bermartabat, adil serta menjangkau ke depan. Tujuan dasarnya adalah untuk meletakan dasar-dasar kehidupan yang baik dalam perspektif transformatif, sekaligus menghentikan siklus pemerintahan yang tidak kokoh di masa lalu.***

No comments: