Thursday, October 25, 2007

Selami Gagasan Dasar UUD 1945 (7/penutup)

2. Budaya Hukum
Dibanding dengan substansi hukum, budaya hukum merupakan perkara tersulit dalam membangun hukum. Inilah yang sedang dialami oleh kita semua. Masalah utama dalam substansi hukum adalah cara merumuskan suatu pandangan menjadi norma atau kaidah, sedangkan masalah utama dalam budaya hukum justru jauh lebih kompleks. Norma atau kaidah dalam satu pasal memang harus dijadikan patokan perilaku bagi setiap orang. Akan tetapi siapa yang mau bersusah payah mempelajari norma-norma dan kaidah itu. Siapa pula yang mau bersusah payah mengkampanyekan norma-norma itu. Perilaku orang tidak selalu dapat dibentuk melalui jalan paksaan. Apalagi tidak semua undang-undang mengandung sanksi.

Membentuk undang-undang memang merupakan bagian dari budaya hukum. Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum itu bukanlah hukum. Budaya hukum, secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. Soal-soal itu adalah nilai, orientasi – apa yang dipikirkan - dan mimpi-mimpi orang tentang hukum dalam arti luas. Hukum dalam arti empirik adalah apa yang diperagakan oleh orang-orang yang diberi otoritas oleh negara untuk menjalankan suatu undang-undang. Dalam arti empirik itu pula, hukum mewujud pada tindakan kongkrit yang seirama atau tidak seirama dengan kaidah-kaidah dalam undang-undang.

Sanksi-sanksi tidak selalu dapat dipaksakan. Dalam administrasi negara, pencabutan izin, penurunan pangkat - demosi, dan lainnya memang dapat dipaksakan, tetapi apa sanksinya bila pelayanan oleh sebuah institusi dilakukan secara setengah hati. Apa yang dapat dilakukan kalau misalnya usulan kenaikan pangkat seseorang harus melewati waktu yang begitu panjang? Hilang ayam, dapat berubah menjadi hilang kuda ketika seseorang yang kehilangan ayam membawa perkara itu ke otoritas negara, adalah ungkapan sinis yang sudah sangat akrab di telinga kita. Kalau dapat dibuat ruwet, mengapa harus dibuat mudah, juga sama akrabnya di telinga kita. Kalau dapat nyelonong, mengapa harus beli tiket? Kalau dapat disuap atau dinegosiasi, mengapa harus antri berlama-lama atau harus mengikuti prosedur?

Secara konseptual, budaya hukum menunjuk pada sikap dan tindakan yang nyata-nyata terlihat, tentu merupakan refleksi dari nilai dan orientasi serta harapan yang ada pada seseroang atau kelompok. Karena itu, maka sikap dan tindakan apapun yang dilakukan oleh siapapun, khususnya yang berkaitan dengan hukum, dirumuskan dan diterima sebagai budaya hukum. Jadi dalam arti seperti ini, budaya hukum tidaklah mesti merupakan atau hanya menunjuk perilaku atau sikap yang baik saja atau yang buruk saja.

Sikap apresiasi terhadap hukum seperti apakah yang harus dibangun dan siapa yang harus berada di garda terdepan untuk membangun apresiasi terhadap hukum? Bila dikembalikan pada gagasan dasar yang terkandung dalam UUD 1945, maka sikap yang harus dibangun atau dikembangkan adalah sikap yang terbuka, hormat menghormati, dan tidak individual. Pilihan terhadap negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bermakna negara hukum yang demokratis, mengandung arti bahwa kita telah memilih untuk tunduk dan taat terhadap hukum. Pilihan itu juga berarti bahwa hukum ditempatkan dan dijadikan sebagai aturan main utama dan tertinggi dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara normatif semua warga negara harus berada di garda terdepan dan memikul beban yang sama untuk membangun budaya hukum. Namun, bila dilihat kenyataan, tidak hanya ada di depan kita, melainkan juga di negara lain, bahkan secara konseptual, terasa betul bahwa mimpi-mimpi ini rupanya agak menyesatkan. Sebab faktanya, setiap kelompok dalam lingkungan sosial memiliki nilai, orientasi dan harapan yang berbeda-beda. Karena itu berbeda pula sikap dan perilaku mereka dalam memberikan apresiasi terhadap hukum. Selalu saja ada alasan yang dapat digunakan untuk membenarkan sikap yang mereka pilih.

Dilihat dari sudut sosiologi hukum, seseorang atau sekelompok orang mau tunduk pada hukum, karena merasa beruntung dengan aturan tersebut. Begitu sebaliknya, tatkala mereka merasa tidak memiliki keuntungan apapun dari aturan itu, maka mereka tidak akan mendukung aturan tersebut. Hal semacam ini selalu dapat ditemukan di manapun. Mendukung satu putusan pengadilan, atau sebaliknya mencemoh putusan tersebut juga dapat dikembalikan pada tesis ini. Namun sejauh hal itu hanya merupakan pendapat, tentu harus diterima. Sebaliknya, dalam bentuk apapun sikap yang ditampilkan, anarkis atau tidak, tetap harus dilihat dan diterima sebagai budaya hukum kita.

Cukup sering orang menyebut-nyebut budaya hukum Cina dan Jepang, bahkan Amerika Serikat sebagai contoh budaya hukum yang baik. Cina dibanggakan karena memiliki tradisi Konfusiaisme yang kuat. Jepang selain dipengaruhi budaya konfusiaisme, juga memiliki tradisi kekeluargaan yang bagus. Amerika juga demikian, dianggap bagus karena memiliki tradisi individualisme yang kokoh. Padahal kalau harus diungkap secara apa adanya, akan ditemukan fakta yang cukup telak memukul validitas tesis-tesis tersebut. Bukan hanya dalam film-film, melainkan dalam kajian krimonlogi terungkap jelas bahwa di negara-negara itu juga tumbuh subur kelompok gangster.

Tidak sedikit pelanggaraan hukum berat yang pelakunya tidak tersentuh, karena berada pada strata politik tertinggi, Kalaupun disentuh pasti hanya merupakan sentuhan penuh kompromi. Pembunuhan John F. Kenedy misalnya hingga saat ini tak terungkap dengan terbuka. Kasus Monica Lewinsky dan Paula Johnes juga kabur. Itulah sekelumit wajah budaya hukum Amerika Serikat.

Budaya hukum, bukanlah sesuatu yang mudah digambarkan dan dinilai, apalagi penilaian yang bersifat final. Kenyataan, betapapun paradoksnya, itulah budaya hukum suatu lingkungan sosial. Menghargai atau tidak menghargai hukum, itulah budaya hukum. Karena itu maka membicarakan budaya hukum, mau tidak mau harus berurusan dengan kenyataan yang berkaitan dengan perilaku orang, bukan sesuatu yang ada di langit.

Akan semakin gawat kalau berkembang dalam pikiran orang dan menjadi keyakinan mereka bahwa hukum hanyalah apa yang tertera dalam undang-undang. Sama gawatnya dengan cara pandang tersebut, pandangan bahwa hukum terisolasi dari lingkungan sosial. Kalau sudah demikian halnya, maka akan hancurlah ruh hukum itu. Hilanglah pula sensisitifitas mereka terhadap nilai-nilai, kaidah dan tata krama sosial. Hasilnya adalah kepatuhan terhadap hukum semata-mata menjadi patuh pada teks undang-undang, bukan pada kaidah-kaidah sosial. Padahal ruang sosiallah yang menjadi napas hukum. Tanpa ruang sosial, hukum akan memiliki nilai nominal dan semantik belaka.

Di atas segala-galanya, akan indah dan menggembirakan sekali kalau penyelenggara negara, politisi, tokoh masyarakat berada di garda terdepan memimpin perilaku yang dapat dijadikan teladan dan panutan dalam menghargai, tunduk serta patuh pada hukum. Inilah makna lain dari pasal-pasal Magna Charta 1215, yang dipatrikan kembali 5 abad kemudian di dalam konstitusi Amerika Serikat. Good behaviour, itulah kriteria masa jabatan Hakim Agung di Amerika Serikat. Dapatkah kita seperti itu dalam arti yang seluas-luasnya? Wallahu alam.

Penutup

Dilema dalam pembangunan hukum terletak pada penyelerasan obyeknya itu sendiri, yaitu hukum, dengan makna-makna dalam gagasan dasar UUD 1945. Apa yang dahulu disebut cita hukum, bukanlah suatu harapan yang terbatas pada membangun hukum, melainkan membangun kehidupan yang adil dan beradab. Tetapi maknanya sebagai identitas suatu bangsa, simbol ideal dalam perikehidupan yang beradab dan bermartabat, maka postur substantifnya, selain harus memiliki pijakan konstitusional dan kultural, harus pula menjamin ketersediaan ruang bagi perkembangan -perkembangan baru. Ini berarti hukum yang dibentuk haruslah berwatak progresif.

Mengatur kehidupan dengan mengandalkan hukum – baca undang-undang, bukan hanya mencerminkan inkonsistensi pemahaman atas makna sosial yang melekat dalam hukum, melainkan juga sesat. Gagasan dasar dalam UUD, harus ditafsirkan tidak hanya sebatas makna normatifnya, melainkan juga makna politik dan transformasi sosial, sehingga pembentukan hukum harus diarahkan untuk menghasilkan tatanan hukum yang bermartabat, dan yang mengabdi pada kemuliaan manusia.

Rasanya tidak berlebihan kalau pembangunan hukum diprioritaskan pada dua hal. Pertama, substansi dan aparaturnya. Kedua, budaya hukum atau aspek kulturalnya. Di tangan aparatur hukum yang hebat, baik yang berasal dari departemen maupun para politisi di DPR, ke depan kita dapat merencanakan undang-undang yang berwatak progresif. Undang-undang yang berwatak progresif memerlukan penanganan yang berwatak progresif pula. Aparatur yang berwatak progresif adalah aparatur yang mengenal makna dan hakikat UUD, dan denyut nadi kehidupan nyata. *****

No comments: